Tampilkan postingan dengan label Senja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Senja. Tampilkan semua postingan

18 Feb 2013

Simfony Langit



Di pelataran senja yang merona, aku menari basah. Gelisahnya hujan menghardik pesonaku kala bercengkrama lewat jingganya. Melalui irama nada layang-layang aku bertitah: ini bahagiaku!
Senyum simpul terkulum tanda takzim yang tak lazim. Mengurai runut peristiwa sewindu dalam pancaran wewarna kelabu, atau mejikuhibiniu. Lukisan didinding itu kian gontai menggantung. Mungkin angin hebat menerpa kokoh ruangnya.

Perlahan waktu memberi jeda untuk mengurai masa, mengenang simfony nada yang pernah tercipta. Mungkin sesaat lagi, sedang aku masih terasing dalam diamku. Menunggu. Entah, apa kelak cukup masaku, berbagi cerita lewat butiran-butiran air mata bahagia atau mungkin lewat tawa yang berduka. Sedang potongan-potongan puzzle itu kian berkurang dari utuh. Satu persatu meluruh bersama waktu yang terus membunuh.

Aku butuh waktu. Menunggu atau terus berlabuh di dermaga bisu. Esok pasti kan menjelang, tentu saja dengan pengertian dan pemahaman yang berbeda. Jika pada akhirnya potongan-potongan puzzle itu kian meluruh, aku yakin kan ada yang datang menyusunnya kembali utuh. Bila nada-nada itu kian hilang, kelak kan ada yang memainkan nada-nada baru untukku. Meski ketukkannya tidak sama, tidak akan pernah sama. Selamanya . . .

Pergilah, sebagaimana keinginan Rabb atas jalan hidup kita.

22 Jan 2013

Di Ujung Senja Rindu itu Membunuh


Seperti senja yang ku eja pada jingga. Warnamu hadir memberi keindahan pada separuh duniaku. Meski rindu kian pongah bergaduh. Sebab asaku jatuh terjerembab jauh melumpuh. Sempat ku sesalkan sesak rindu yang malu-malu. Kini bercendawan menyisakan luka haru. Berjalan, masih harus beribu waktu hingga sampai ke tempatmu. Berlari, masih harus berburu peluru hingga bersarang di dadamu. Takkan kau dengar sedikit petuahku. Duniamu - duniaku, berbeda itu jelas tak jemu. Sedang jenuh membunuh perlahan dalam diamku.

Langit masih bisu menertawakan tatap memelasku. Sampai sayu rindu itu membunuh. Dan tak terdengar lagi detak-detak irama qalbu. Nada biru kian kelabu bersama dawai yang pecah karna rubuh. Daun pintu menggesek perlahan menutup buku. Selaksa kian berjelaga dalam syair-syair bisu. Mimpi mimpi meluruh, bagai pasir tersapu ombak pasang. Kencang angin menerpa prahara layar perahu laju.

Lagu itu kian sumbang dari merdu. Jelas menyisakan luka yang merindu. Tawa yang kucipta dulu, musnah dalam debu. Canda yang kau riakkan lalu, hancur dalam semerbak kesturi yang meluluh. Kukirimkan lewat kekata embun kala pagi menyapa daun, kukirimkan lewat kekata hujan kala mendung memuntahkan rinai, kukirimkan lewat kekata mentari kala sengatnya menyapa pagi, kukirimkan lewat kekata angin kala hembusannya menerpa pepohonan di beranda rumah tuaku, kukirimkan kekata senandung senja kala pelangi hadir dalam biru jingga, kukirimkan pilu rindu yang masih tak habis dalam duka nestapa.

Diamku adalah melodi dalam remuk sepekat senja. Yang menjarah bahagia dalam sepersekian masa. Melebur dalam kehambaan. Melerai serbuk jingga dalam makna kehidupan. Deras, mengaliri cawan kemanusiaan. Gontai, tersudutkan kenyataan tak bertuan.

Lagu itu kian sumbang dari merdu. Jelas menyisakan luka yang merindu. Tanpa suaramu dalam sisi gelap terangku . . .
Di ujung Senja Rindu itu membunuh.

27 Des 2012

Selaksa Kehidupan

Dan malam menghadirkan kesenyapan
dipenghujung hiruk pikuk euforia kehidupan.
Ini sudah larut bukan?!
Namun masih dengan nada yang sama kudengarkan
Syahdu, mengalun merdu
Lewat nada Selaksa Pelangi
Yang hadir mengisi cawan hari.

Cukuplah kemarin tatapan langit begitu sendu
Warnanya kelabu menutup biru.
Riak-riak itu kini meredup
Tertutup hitam dalam gelapnya hidup.

Mungkin kini kita tengah mencintai apa yang dulu kita benci.
Mungkin kini kita tengah belajar bijak agar tak menyakiti.
Mungkin kini kita tengah bangkit dari keterpurukan diri.

Tiap-tiap kesakitan hari ini, akan diganti dengan kebahagiaan di esok hari.

"Bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al Insyirah)

Kau Aku

Kau aku memilih jalan itu
Tepat dipersimpangan, kita lepas pandangan tangan
Menyusuri jalanjalan peradaban
direot jingga langit senja.

-------- merasa cukup dipenghujung waktu-Mu

21 Des 2012

Senandung Hujan

Masih tentang hujan, yang menemani sendiri dalam keterasinganku. Yang membasahi bumi dalam kekeringanku. Hujan. . . yang selalu menemani, tanpa mimpi berharap mentari hadir setelahnya. Ini sudah senja bukan? Sudah saatnya mentari tenggelam. Dan malam terlihat lebih menenangkan daripada sinar jingga mentari yang tak memungkinkan untuk kembali merajut rintikan hujan.
Sudahlah, tak perlu menghindar dari mentari bukan?! ada atau tidaknya ia, kita masih tetap bisa merajut tiap rintikan hujan. Seperti yang semua orang inginkan. Setiap akhir cerita berakhir bahagia, jika tidak di dunia, mungkin di syurga.

Bukankah Dia lebih berhak atas kehidupan kita?

Dan hujan akan selalu menenangkan dikala rintikannya terajut indah penuh makna, tanpa paksaan, tanpa pengabaian, hanya rajutan dengan penuh kesabaran jua keikhlasan.
Hari-hari itu kuharap selalu menyenangkan :)

3.11.12
Medan ^^

17 Des 2012

Selaksa Senja

Semua tertanam, tertanam didalam benak. Penuh luka, penuh kesedihan . . . .
Aku tau sejak awal, Namun aku pun tak punya kuasa untuk menghentikanmu. 

Sahabat . . . lukamu mengiris hatiku. Entah, ini sudah untuk yang keberapa kali kau disakiti.
Semoga ia memahami, bahwa segala perilaku akan kembali kepada yang melakukan.


Dan kau tak menemukan pendar-pendar keadilan itu.
Mungkin inilah waktunya perbaikan, perubahan dan juga kebaikan.
Kau akan melewatinya,
Ketika kau melihat kesalahan yang sama, dimana kesalahan itu dulu pun kau pernah melewatinya, kan ada luka yang terkoyak. Dan kau teramat takut merasakannya, teramat takut tuk kembali kepada jalan itu. Karna kau sadar, Dia tlah menyadarkanmu dari khilafmu. Dan kau terlalu teramat takut untuk kembali pada jalan itu. Ada rasa dalam rongga dadamu yang sesak, ingin menyampaikan kepada orang yg melalui jalan gelap itu. "Jangan lewat lorong itu, karena kelak kau kan merasakan kesakitan yang tiada tara hitungan jumlahnya". Namun katamu tersekat. Menyesak didada, ingin menyampaikan namun tak bisa. Dan.... "Ah... andai ia tau, andai ia mau mendengarku".
Duhai Rabb.... Selamatkan kami, jangan biarkan kami terlena oleh cinta dunia.
Jaga kami, dengan penjagaan-Mu duhai Rabb....

*Intuisi ini bukan sekedar prasangka biasa, aku hanya tak ingin ada yang terluka.

~Sahabat, duniaku kini tiada ceria hilang entah kemana. Detik detik yang kita lalui penuh duri.
Mengapa tangisan itu terdengar lagi?

13 Nov 2012

Hujan di Langit Senja #3

"Senja, kenalkan ini Dew."
"Dew??!!", Senja membatin.

"Hai Senja, aku Dew", sembari mengulurkan tangan.
"Hai", saut Senja dingin.
"Rain?"
"Aku antar Dew pulang dulu. Kau tunggu disini."
-Hening-
"Sampai ketemu lain waktu, Senja. Senang berkenalan denganmu"
"Ya, begitupun aku . . .", kalimat senja terpenggal. Dew memberikan senyuman manisnya kepada senja. "Aku tak ingin mengenalmu. Rain", batinnya.


-------- di bawah rintikan hujan -----------
"Siapa Dew?"
"Dew? Hm . . . Yap, Dew itu semangatku."

"Lalu aku? Bonekamu?"
"Haha . . . kau boneka kecilku yang manis"
"Tak perlu tertawa. Kenapa kau begitu Rain?", mata Senja berkaca-kaca.

"Senjaa . . ."
"Kenapa kau begitu padaku? Kenapa kau tega padaku?"
"Senja, maksudmu apa?"

"Rain. Kenapa kau beri aku harapan itu jika pada akhirnya kau sendiri yang menghancurkannya?"
"Senja, dengar . . ."
"Harusnya kau tak datang saat hujan deras itu menghantam tubuh biruku. Harusnya kau tak perlu memberi payung teduh milikmu untuk melindungiku. Harusnya kau . . .", berai airmata senja, sesunggukan. "Dew. Gadis itu. Harusnya aku tau. Harusnya aku sadar sedari dulu."
"Senja, aku tak bermaksud melu. . .", gantung. Petir menyambar. Senja terjatuh menggenggam tanah. Bajunya basah, kuyup. Airmatanya menyatu bersama hujan.
"Rain . . . harusnya aku tak mengenalmu. Harusnya kau tak membangun harapan-harapanku padamu. Harusnya kau tak perlu peduli padaku. Harusnya aa kuu tak menge-nalmu", senja sesenggukan.

"Senja, sungguh. Aku benar-benar minta maaf. Aku tak bermaksud membuatmu begini"
"Rain, kau tau?! Kau datang disaat aku merasa terpuruk dengan hidupku. Kau menghiburku dengan caramu. Kau . . . . .", Done!
--------------------------------------------

"Senja . . . kau sudah sadar?"
"Di mana ini?"
"Di rumah sakit. Kau pingsan. Tidak makan lagi ya seharian?"

"Aku lupa."
"Dasar Senja! Kau selalu begitu. Aku marah kalau kau tidak makan."
"Semuanya akan baik-baik saja. Aku lebih kuat dari yang kau tau."

"Huh! masih membela diri saja"
"Rayhan . . ."
"Ya. eh? Apa? Kau menyebut namaku "Raihan"?!?!

"Aku akan baik-baik saja. Pergilah dengan semangatmu dan jangan pedulikan aku. Maaf jika selama ini aku selalu merepotkanmu atau membuatmu terganggu. Maaf Rain . . ., kau tau . . . Jangan pernah memasuki kehidupan seseorang jika kau hanya akan menghancurkannya."
---------------------------------------------

"Kak Ray. Bangun, kau tertidur. Dimana Senja?" Ray kaget terbangun, dilihatnya jam ditangannya menunjukkan pukul delapan pagi. Semalaman iya tertidur menunggui senja yang tak jua siuman sampai akhirnya ia tertidur. "Senja dimana? tanya Ratih yang baru saja datang ke Rumah sakit.
"Seharusnya senja disini", seru Ray yang mulai panik. "Susteerr", Ray setengah berlari menuju ruang suster jaga. "Pasien . . . Senjaa . . . dimana??"
"Oh, Ibu Senja sudah pulang pukul enam tadi pak. Beliau menitipkan ini.", suster tersebut menyerahkan secarik memo rumah sakit yang ditulisi senja dengan beberapa kalimat singkat.

"Pergilah hati, jangan kembali. Datanglah bila kau telah pulih."
(Mei -- 2005)~Senja
"Senja bilang apa kak?" Tanya Ratih penasaran.
"Senja pergi" 
"Pergi kemana kak?"
--Hening --

Sinar mentari seolah padam dari teriknya. Dunia serasa gelap bagi senja. Baginya mengekang perasaan adalah seperti sebuah keharusan. "Rasa itu harus kubunuh, dengan atau tanpamu".
Rain. Senja begitu mencintai sebutan itu, mungkin pun pada sosok yang selama ini mengisi hari-harinya. R-a-i-n ---- Hujan, filosofinya yang menenangkan. Tapi tidak lagi. Mungkin.
Dan Rain . . . tahukah kau? sekarang bagiku, setiap harinya adalah hujan di langitku.
Dan Rain . . . tahukah kau? hujan selalu menemani senjaku di kota ini. Tanpa jeda, dan malam langsung menyekatku.
Dan Rain . . . tahukah kau? Aku bahagia jika kau bahagia, meski perih ini adalah luka.

Dan Rain . . . tahukah kau? Aku sudah mendengar kabar bahagiamu bersama Dew. Meski di kota kecil ini, meski aku mengasingkan diri dari apapun yang memungkinkan tentangmu sampai ke telingaku. Aku belajar mengikhlaskan diri, aku belajar untuk mengikhlaskan apa-apa yang bukan milikku . . .


*End





--------------------------------------------------------



~Senja
13.11.12

7 Nov 2012

~Kita

Kita bicara, 
dalam ruang yang berbeda. 
Berbahasa, dengan bahasa sederhana. 
Saling sapa dengan kata yang bersahaja. 
Mengolah kata, menjadikannya bernada. 
Tanpa suara, tapi sarat kan makna.

Kita bicara, 
dalam gulita menuju cahaya. 
Pekatnya menuntun cerita kita kian berirama. 
Menjadikan satu diantara berjuta kisah sandiwara kehidupan. Perlahan menguntai rajutan kata, meninggalkan jejak diantara jiwa-jiwa yang merindu.

Masih. 
Akan kemanakah kaki melangkah? 
Sedang jelas kaki mungil itu berlari, 
mengitari lorong-lorong kecil disekitarnya. 
Mengeja setiap bait rintikan hujan.
Lewat melodi senja kala tersibak senandung jingga
Diantara biru pujangga.

Aku, Kamu, dan Cerita kita :)

19 Okt 2012

Hujan di Langit Senja #2

"Diluar hujan, aku kedinginan"
"Rain . . . "
"Ya. "

"Disini juga hujan. Deras."
"Apa sudah banjir?"
"Mungkin."
"Kau baik-baik saja, senja?"
"Aku tidak yakin."
"Kau dimana?? biar kutemani."
"Dibawah hujan"
"Gunakan Payung teduh itu, senja"
"Payungnya tidak mau terbuka."
"Senja . . . Jangan menangis lagi."
"Aku tak pernah ingin melakukannya, Rain"

"Aku akan ketempatmu sekarang."
"Tidak bisa Rain, Kau tidak bisa ketempatku dan pula tak mungkin"
"Apanya yang gak mungkin?"
"Rain. . ."
"Ya."
"Terimakasih"

19 Jul 2012

~Senja

Senja menjuntai perlahan
Melahap biru jadi jingga.
Dan mentari mulai beranjak tenggelam
Meniadakan cahaya.

Sedang rinduku remuk dalam diam.

Menjelang Ramadhan,
19.7.12

30 Jun 2012

Find (A)way

Rona luka itu  tiada dapat kau temukan artinya

Bahkan hingga jingga senja beranjak menjadi kelam diredam malam

Senjamu itu mendung, berhari-hari lamanya

Tak kan kau temukan utuh

Sampai tiba waktu shubuh.

 

Medan,
30.6.12

28 Jun 2012

Hujan di Langit Senja #1

"Sudah . . . sudah . . . jangan menangis"
"Dasar bod*h, siapa yang menangis?!"
"Itu . . . air matamu menetes terus"
"Ini air hujan!"
"Dasar senja! Pintar sekali kau beralibi."
"Tidak."
"Huh, ini pakai sapu tanganku"
"Itu basah, takkan bisa mengeringkannya"
"Kau kenapa lagi?"
"Menunggu hujan reda."
"Bukannya sejak tadi payung teduh ini melindungimu, senja"
"Tidak."
"Bagaimana buat hujanmu mereda?"
. . . . .  Hening. . . . . dan hujan itu kian deras mengalir . . . .
"Senja, tenanglah, ada aku membersamaimu. Jika ada yang membuat hujanmu turun begitu derasnya, izinkan aku meredakannya untukmu, atau setidaknya melindungimu dibawah payung teduh ini"
"Rain. . . . "
"Ya."
"Terimakasih"


Sumber gambar : Google Image

22 Jun 2012

Senja di Ujung Daun

Dan akhirnya pecah berserakan,
bersama daundaun berguguran.
Bersenandunglah hujan diantara tikaman perkataan
Sedang ia terus memeluk kakinya, yg basah oleh hujan.
;yang gontai oleh cakrawala langit menghitam
Menyudut diantara dentuman hari yang tak memihak diri.
Terpojok... 
;memaku bagai batu,
mencair bagai lelehan lilin membakar sumbu
Yg berkata seolah tiada mencela,
Yg diam seolah tak mampu membela.
Dibawah hujan rintik ia merintih pasrah pada ILah.
Senjanya pun kini tiada, tenggelam oleh malam yang kian menyelam, 
;menyanding rembulan di langit Sang Penguasa alam
Merunduk, ia menghela nafas panjang.
disekanya embun yang terus menguap diujung daun.
Tatapnya meredup, seredup qalbu yang menghiasi malamnya
Tatapnya kelam, sekelam malam menghiasi langit lewat temaram.
Berujung pada siluet jingga yg membisu.
Birunya kelabu, menyelimut qalbu diantara sesak beribu.
Seakan menunggu waktu menyapa lugu.
Dan diam pun seolah jawaban yg menggebu
Dan biarlah apa menjadi adanya,
tanpa perlu mencari tau sendumu.
Yang terbakar jadi abu.
;terbang bersama debu... 
Tanpa sisa di qalbu

~Senandung Malam dikala Hujan dilangitku

#Season of Hope. 
22.6.12



LuLu Asy Syifa

4 Jun 2012

SE(ma)NGAT Pagii..!!!


Pagi.....!!!! =D
Sudahkah kamu bersemangat hari ini ??? ;)
Saya belum. Ooppsss.... kenapa? Hm... pagi ini terasa masih ngantuk. Hooaamnnh... mungkin efek obat kali yah, -___-‘ inilah yang menyebabkan saya paling males minum obat. Soale obatnya bikin ngantuk. Pengen merem terus matanya, mengerjap-ngerjap, berair, menguap.
"Ngopi?"
#Tidak lagi.
"Kenapa"
#Aku mulai tak tertarik lagi padanya.
"Bukankah kemarin ada yang buat kopi dan kau"
#Ya.. aku hanya menghirup aromanya. Hmm.... cukup aromanya saja. Menenangkan.
"Hah? Menenangkan kau bilang"
#Ya. Menurutmu?
"Sama."
*senyum #apa kubilang. Baunya emang menyenangkan bukan.
"Tentu". *senyum
"Masih ngantuk? Mana semangatmu?"
#Aku? Ini hanya efek obat. Semangatku katamu? Tentu saja ada padamu.
"Aku?"
#Ya.
"Kenapa?"
#Kau semangatku dan aku semangatmu.
"Kita bersemangat?"
#Tentu.. *senyum


*bercermin

22 Mei 2012

Kabut Senja ~Belajar Tentang Kehidupan

Belajar tentang kehidupan. Kumulai dari fase kabut senja. Pertanyaannya, kenapa dari fase tersebut? Sederhana saja, mungkin karna ia proses akhir dari pencarian penghidupan. Lalu, kenapa harus kabut? Mudah saja, itu karena beberapa hari ini aku tak melihat jingga menggantung pada langit biru ketika sore hari beranjak petang mengganti malam. Hanya kelabu, kelabu yang berkabut. Tapi dari sana pun aku memperoleh banyak pelajaran dari kehidupan yang berjalan. Meski singkat, namun aku cukup mampu mengambil ibroh dari setiap waktu yang berjalan.

Tentang apa saja?
Hm... tentu saja banyak, hingga aku sulit menguraikan yang bagian mana terlebih dahulu aku paparkan. Baiklah, kita mulai dari kuliah. Tiba-tiba aku teringat seseorang yang bertanya padaku beberapa waktu lalu, “Masih ingin kuliah, lu?”, tanyanya padaku. Masih, jawabku. Tapi... kata “tapi” tentu saja akan menghapus pernyataanku yg sebelumnya. Hhehe.. mau tau “tapi kenapa?” singkat. Masalah biaya. Damn! Teringat, pernah menuliskan dibuku catatan “Langit Senja”ku, usia 24 targetku mendapat gelar S1. Tahun ini, usiaku akan genap mendarat di angka dua empat. Ya, dua-empat. Lalu, bagaimana? S1nya dapatkah? Yah, seperti yang terlihat. Sampai hari ini aku belum melanjutkan kuliahku. Beasiswa? Adakah? Tentu saja sampai saat ini tidak ada, atau mungkin belum ada untuk program D3 ke S1. Eh, jadi teringat, pernah ada yang mengatakan, mereka orang dari dunia maya, “Salah sendiri milih D3”. Cuma bisa tersenyum. Tentu saja, karna yang mengatakan hal tersebut tidak mengetahui proses yang aku lewati, mereka tidak atau mungkin belum memahami bahwa kita memang tak bisa memilih ketika sesuatu itu sudah jelas garis takdirnya.

Kembali melanjutkan potongan tapi..., yup! Kuliah- masih ingin lu? Jawabnya, singkat! Sudah kukubur keinginan itu. Kenapa? Menyerah? Mungkin itu sebagian pertanyaan orang-orang. Jawabku, aku justru sedang berjuang untuknya. Kuliah. Ya! K-U-L-I-A-H. Meski bukan untukku. Lalu? Untuk adikku. Menguliahkan adikku masuk kedalam salah satu list targetku. Sudah 5 tahun ia menjadi pengangguran mahasiswa. Alias belum kuliah. Keinginanku kukubur untuk membangun keinginan lain, aku ingin adikku juga merasakannya. Kenapa bukan orangtuaku saja yang menguliahkannya? Mungkin sebagian orang berpendapat seperti itu. Hey.. jika kau kuliah atas biaya orang tuamu sepenuhnya, maka bersyukurlah karna kau punya orangtua yang kaya karna mampu menyekolahkanmu, so..jangan pernah sia-siakan itu!

Tiba-tiba aku kembali kefase beberapa tahun silam, saat teman es em pe ku mampir kerumah. “Rumahnya gini-gini aja lu?!”, retorik menurutku. Lalu ia melanjutkan lagi celotehnya sambil bercerita tentang keadaan rumahnya yang sudah berubah menjadi lebih bagus. Mungkin dia tidak paham, bahwa aku menjadi sangat sensitif ketika penilaian orang-orang hanya dari segi materi. Materi lagi materi lagi. Aku bosan ketika segala hanya diukur dengan uang. Huh.. padahal aku orang keuangan! Hahaha..

Saat hijrah ke Pulau seribu pelangi dulu, niatku ingin mengumpulkan biaya untuk melanjutkan kuliahku. Namun, jalannya memang tidak seperti apa yang aku bayangkan. Seiring berjalannya waktu, ada saja hal-hal yang membuat sesuatu tidak menjadi sesuatu, namun ia justru menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang memang sudah digariskan seperti itu kejadiannya. Sesuatu yang akan kita mengerti setelah kita mampu melewati fasenya dengan baik.

Sekarang pun begitu, aku sudah kembali kerutinitasku yang dulu. Bekerja. Ya! Be-Ker-Ja. Hal yang dulu tak pernah terpikir olehku. Karna memang aku sendiri tak ingin menjadi pekerja aktif hingga sampai usia tuaku. Namun, selama aku menjadi seorang yang mandiri, tentu saja aku masih butuh untuk bekerja. Hasil dari pekerjaankupun kelak akan kusisihkan sebagian untuk membiayai kuliah adikku. Semoga ada jalan. Aamiin ya Rabb..
Lalu bagaimana dengan keinginanku yang sebenarnya? Ya! Kupendam dulu sejenak, pasti ada jalan atas niatan yang baik. Bukankah Allaah itu MahaMengetahui lagi MahaBijaksana?! Retorik lagi. Tak perlu ada kekhawatiran untuk semua. Semua sudah ada jalannya masing-masing. Segala kekhawatiran dan kecemasan sesungguhnya tidak nyata, hanya sebentuk perasaan yang ragu atas nikmat Rabb dan penjagaan-Nya atas apa yg kita khawatirkan.

Hm.. tiba-tiba aku teringat akan orang-orang disekitarku yang takut kehilangan atas sesuatu. Entah apapun itu, sesuatu yang mungkin sangat berharga dalam hidup mereka. Pernah kau merasa kehilangan? Aku pernah. Dan dijalan itu aku kembali bermuhasabah. Dari sana aku justru menemukan sesuatu yang selama ini belum pernah aku dapatkan. Ketika kau kaehilangan sesuatu, banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjadi sebab akibat darinya. Bagiku, ketika aku merasa kehilangan, saat itu Allaah hendak mengajariku untuk menjadi sederhana dalam langkahku, hendak mengajariku bahwa keimanan-ketauhidan adalah kunci dari setiap penjabaran kehidupan. Ya, aku hebat sekali dulu ketika membicarakan tentang keyakinan, ketauhidan. Karna ia adalah pokok dari keimanan. Materi ketauhidan ala ilmuku yang masih seadanya.

“Kamu kan pintar, lu”, seru seseorang. Tidak! Jawabku fasih. Hahah.. enatah kenapa, aku tidak pernah merasa begitu. Ilmuku yang secetek begini saja sudah dibilang pintar. Tau dari mana ini orang-orang?? Ngawur sajaa kalian. Apakah disebut pintar ketika ditanya dan aku menjawab tidak tau?! Tapi masih mending lah dari pada ditanya trus akunya sok tau. Itu sih namanya sok pintar. Hehehee :p

Kembali belajar tentang kehidupan. Siklus kehidupan menimbulkan hukum sebab akibat dari setiap manusia kepada manusia yang lainnya. Contoh kecilnya, kehadiranku dikantor menjadi sebab bagi hadirnya sahabatku juga disana. Jadi ceritanya kami ini satu kantor, setelah sebelumnya melanglang buana nyari kerja dimana-mana. Hingga akhirnya saat aku mulai Stuck dengan cari mencari pekerjaan, aku dapat info lowongan kerja dari ustadzahku disalah satu perusahaan milik temannya. Alhamdulillaah, lalu melalui aku, kukabarkan berita yang sama seperti yang pernah disampaikan oleh ustadzahku kepada sahabatku perihal lowongan kerja di kantorku. Dan akhirnya, kami pun bersama. Bekerja ditempat yang sama, mengaji pun ditempat yang sama pula. ~Alhamdulillaah ya
 
Belajar tentang kehidupan. Aku suka langit sore yang slalu kutatap saat akan kembali pulang ke gubuk sederhanaku. Langit yang berwarna warni. Selalu, hampir selalu warna-warni itu menghiasi langit kotaku yang indah. Warna warna yg terbentuk pada saat matahari berada di posisi tinggi, lebih tinggi dari 58 derajat dari garis horizon. Ketika cahaya melewati awan cirrus yang tinggi, terkadang awan ini akan dapat menampilkan proses pemecahan cahaya yang membentuk fenomena yang mirip dengan pelangi. Nama lainnya Pelangi api, atau bisa juga disebut awan halo. Hey.. lihat! Kotaku memang bertuah. Sepekan belakangan ini, aku sudah berkali-kali menyaksikannya. Keren.



Belajar tentang kehidupan. Malam semakin menggantung tinggi, gelapnya menggulita. Bintang-bintang tak nampak, pun rembulan. Mungkin kini saatnya ku menidurkan celoteh kecilku, kembali ke senandung alam mimpi. Bercengkrama dengan penduduknya, hingga esok kuterbangun dengan sisa-sisa cerita yang tersisa darinya.

~Semusim Pengharapan
Medan,
20.5.12

10 Apr 2012

Sepekat Senja



Senja semakin memekat
;jadi malam
Cahaya alam tlah padam
;berganti sinar bebintang dan rembulan
Sudah saatnya tutup pintu pintu dengan menyebut nama-Nya
Jika langit masih kelabu,
Pertanda hujan masih ingin membasahi bumiku,
;yang kering sebab sengat mentari siang tadi.
Biar nanti angin yang bawa awan kelabu pergi,
Berganti hitam, penuh sinaran bebintang.

“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (Al-Furqan: 62)

~Lulu Asy Syifa~

Kota Madani,
10.4.12


7 Apr 2012

Rinai Rindu


"Ketika jauh rindu rasanya menangis dipelukan ibunda. Tapi setelah dekat menyentuhnya saja kita tak bisa." [Lastri Smart]


Kalimat sederhana diatas begitu menyentuh sisi lain dari diri. Sebuah kata-kata dari seorang sahabat yang mampu membuat embun dimata ini tak mampu lagi tertahan oleh kelopak daun mata yang sendu. Sebuah kalimat sederhana dengan makna terdalam, sebuah ungkapan kerinduan seorang anak yang merindukan pelukan ibunya, yang ingin dan berharap bisa seperti kebanyakan oranglainnya, bisa begitu dekat dan akrab dengan sosok wanita yang pernah melahirkannya, menyapihnya dan merawatnya hingga dewasa. Sebagai seorang anak yang ingin menyentuh dan disentuh bunda, namun tak mampu. Dan tak tau lagi hendak berbuat apa. Seperti ada dinding pemisah yang membuat jarak dekat itu terhalang, sebuah tembok yang menjulang tinggi. Semakin mencoba untuk memanjat dinding pemisah itu, semakin tinggi pula dinding itu menjulang. Lalu terjatuhlah ia, lagi...

Dan hidup tak hanya sekedar kata-kata, sama seperti rindu. Ada baiknya kita harus mengalah dengan keadaan yang ada, meski tembok itu terus saja semakin meninggi. Dan kita bisa melihatnya hanya dari tempat yag lebih tinggi, namun jauh... mungkin seperti itu cukup. Seperti melihat terang dari sisi kita yang gelap. Cukup kita yang tau.

Dan kita hanya mampu menunggu waktu...

1 Apr 2012

Setapak ketiadaan



















Seakan hari tiada berarti
Mengimbangi mimpi dalam buih prasasti
Mengejar kefanaan dipenghujung kekalan abadi
Menuju damai yang dinanti
Terlalu sayup angin berhembus
Tak mampu ia goncangkan prahara gelapnya sanubari
Masih mencari yang terangi jalan setapak ini
Agar tiada ku tersesat di bumi imaji
Menari bersama kebuntuan hari.
Redup rasaku bersama mimpi yang meluruh..
Jatuh dipersimpangan resah.

1.4.12
Kota Madani

Bermusim














Bermusim....
Ketika langit mulai menjingga
Maka padamlah cahaya
Berganti malam menjadi gelap gulita
Dan sinaran mulai benderang di langit hitam
Bebintang dengan sinarnya
Sesekali bertemankan rembulan,
Meniti malam menuju pagi
Saat cahaya kembali jingga bersama mentari
Lalu pagi datang dengan embun pagi
;yang jatuh dari mata sang bidadari
Masih ia bersendiri meraih mimpi-mimpi pasti
Lewat imajinasi kata ia merintih
Masih ia larut dalam buih kenistaan diri,
Ilahi Rabbi...
Dekap diri sang bidadari.

1.4.12
Kota Madani

28 Mar 2012

Senandung Jingga Senja



Disuatu senja, aku memandang ke langit. Cakrawala menjingga, tanda cahaya hampir pudar dalam pendar-pendar langit petang. Burung-burung terbang, menyerak di langit, ia pulang membawa bekal ke sarang. Angin sepoy, dingin menyapu. Laguan kawi sayup-sayup terdengar dari surau-surau di sudut kota permai.
Senja masih dalam pengamatanku, meski tak selalu. Ada jiwaku dalam bagiannya, ada jinggaku dalam potongan warnanya. Dan pula pernah ada lukaku menjadi bagian darinya.
Senja masih setia pada jingganya, meski sesaat ia kelabu karna hujan yang menerpanya.
Aku jadi teringat potongan lirik lagu yang dinyanyikan oleh Tantowi Yahya
"Bila hari telah senja, malam hari pun tiba. Hidupku yang sendiri... Sunyi..."
Senja...
Selalu saja dalam hari-hariku, aku sempatkan diri untuk mengintipnya dari balik pintu, meski aku tak lagi bisa melihatnya utuh. Sebab tembok yang menghalangiku.
Senjaku memang indah, tiada yang pernah bisa menggantikan keindahannya. Tak jua kau!
Aku dan senja telah lama menyatu, menyatu dalam tawa, dalam luka,, dalam duka, dalam dusta, dalam riakan debur ombak, atau keheningan langit tua.
Jika Senja tlah berlalu, aku yakin ia tak sebenarnya berlalu. karna ia pasti kan kembali seperti sediakala lagi, membersamaiku lewat sinaran mentari jingga, melukis langit biru yang menjingga. Lalu kami saling bersitatap, senyumku-senyumnya. Bahagiaku masih bisa menatapnya jelas penuh rasa. Hanya saja, sampai kapanpun aku tak kan bisa menyentuhnya. Karna senja hanya untuk dilihat, dan dinikmati keindahan lukisannya.
Meskipun begitu, Senja telah membelaiku mataku dengan keindahan pesonanya, dengan biru jingganya yang merona, dengan sejuknya angin yang berbisik lewat rimbun dedauanan. Tidakkah itu cukup duhai kawan?
Dan senjaku hanya satu, bergelayut begitu syahdu di sudut hatiku. Merdu, rindu...

28.3.2012
23.58

*Gambar di ambil dari gugel

Dua beda

 Terkadang luka ada baiknya datang diawal. Agar kau tau bahwa hidup tak hanya tentang cinta.  Gemerlap dunia hanya persinggahan yg fana.  Me...