Hai, apa kabarmu?
Bumiku gersang tanpa sapamu beberapa waktu belakangan ini. Kau dimana? Tak berhasratkah sejenak untuk mampir di teras rumahku yang sudah penuh dengan totol tanah kering? Hey . . . tahukah kau, aku rindu. Entah sejak kapan ia terus mengikutiku.
Kau tau, aku selalu senang saat kau datang di senja itu. Itu artinya aku tak perlu mengangkut air dari belakang ke depan dengan tergopoh-gopoh untuk menyirami tanaman-tanaman hijau di teras rumahku. Itu artinya, kau bersamaku saat itu. Kau yang selalu menanyakan padaku, "Apa sudah kau siram bunga-bunga itu?" --- Belum, jawabku. Aku malas sekali melakukannya. Dan kau tau persis bukan itu alasanku, tapi kaulah. Karna aku ingin kau yang menyirami ladang hijau kecil yang terhampar di teras rumahku. Aku ingin terus bersamamu, dalam rinai hujan yang membasahi bumiku yang kering.
Malam ini, sumuk sekali. Tanpamu cuaca malam seakan mengamuk. Sedikit tak bersahabat dengan suhu tubuh yang masih tak tentu. Aku ingin kau tau, bahwa aku selalu rindu. Aku rindu pada tanya lembutmu yang dulu, yang sekarang tak lagi terdengar disudut ujung ruang dengarku. "Apa sudah kau siram bunga-bunga itu? --- Nanti ayahmu marah jika kau tak melakukannya." --- Ocehanmu membuatku rindu. Rindu pada teduh mataku memandangmu, rindu pada sosok yang kulihat dari sandaranku dipangkuan ibu. Hujan itu kau. Rinai yang selalu menemani saat senduku. Bulir yang selalu mengaliri tiap aliran resah dan rinduku.
Kau ingat kata yang selalu kubisiki ditiap riuhmu? --- "Aku mencintaimu apa adanya kau, karna aku sang pecinta hujan". Seperti sekarang, meski kau tak terlihat, aku tetap pada hati yang pernah kutitipkan padamu. "Aku mencintaimu apa adanya kau". Dan setelah kata itu terucap, biasanya kau akan menyapaku ditiap harinya.. Dan terkadang lewat embun pagi, kau titip salammu untukku sang Pencinta Hujan. Hey,... maukah esok kau hadir disaat fajar? Lalu tinggalkanlah seberkas benih beningmu di telaga biru. Agar saat mentari menelisik tinggi, ia paham tuk menyerakkan tujuh warna lewat spektrum pelita yang merekah. Merah jingga ku, Hijau biru nila untukmu. Kau aku menyaksikan Pelangi.
#Kepada Hujan yang Kurindukan :)
Tampilkan postingan dengan label Serbuk jingga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Serbuk jingga. Tampilkan semua postingan
21 Mar 2013
17 Mar 2013
Symposium Ruang Rindu
Jika rindu adalah kumpulan luka-luka pilu, maka aku ingin kamu yang menjadi penawar rindu. Agar sembuh lukaku, agar lenyap senduku. Karna kamu adalah rinduku yang kian membuatku memilu.
Jika rindu adalah sajak-sajak bisu, maka aku ingin mendengar lantunanmu lewat senandung lagu. Agar bersatu sajakku yang patah. Karna kamu adalah rinduku dalam sajak yang tak pernah lekang oleh waktu.
Pernah kukhawatirkan rindu yang mengaliri tiap aliran darahku saat bayangmu melesat masuk kedalam dimensi ruang batinku. Saat cengkrama kita diantara derikan jangkrik dan seuntai cahaya dari rembulan yang tak lagi purnama. Sabit, dipenuhi bintang gemintang. Saat ceritaku memulai segalanya dalam ruang dengarmu, saat ceritamu menjadi dongeng untukku dalam ruang dengarku.
Dan cerita kita kian melarut, bersama waktu yang kian mengkerut. Adalah malam saat mula kita terpisah dari jarak sekian masa.
Dalam candaku, terpercik pendar-pendar asa yang meramu. Menguntaikannya menjadi kata sederhana dalam bahasa manusia yang menganggap itu tak biasa. Bisa saja katamu, semua takkan pernah ada yang tau. Dan pedulimu adalah rindu yang tertawar oleh waktu pilu, terpisah jarak mil beribu. Aku bisu dalam malam yang kian menyendu. Menyeka asa yang berlinang dalam sudut pandang mata. Tak biasa, tentu saja ini tabu. Kembali seperti menepuk genderang tabu yang takkan terdengar oleh manusia-manusia bumi. Tentu tak semua memahami, ada rindu yang menunggu dipenghujung waktu. Menunggu diantara ceritaku dan ceritamu. Mungkin kelak kan ada cerita kita. Mungkin, meski itu mustahil bagiku atau untukmu. Dan masing-masing kita menunggu di ruang rindu. Dengan tempat dan design yang berbeda bentuk. Aku -- Kamu. Kita? Entahlah. Kita masih sama, berada dalam ruang tunggu yang kita sebut rindu.
Mengenalmu, baru berbilang pada periode ke-tujuh. Kita sama, sama-sama menunggu waktu diruang rindu. Saling mendoakan, atau sesekali berbagi cerita dalam simposyum ruang rindu.
#Chapter
Ruang tunggu,
17.3.13
18 Feb 2013
Simfony Langit
Di pelataran senja yang merona, aku menari basah. Gelisahnya hujan menghardik pesonaku kala bercengkrama lewat jingganya. Melalui irama nada layang-layang aku bertitah: ini bahagiaku!
Senyum simpul terkulum tanda takzim yang tak lazim. Mengurai runut peristiwa sewindu dalam pancaran wewarna kelabu, atau mejikuhibiniu. Lukisan didinding itu kian gontai menggantung. Mungkin angin hebat menerpa kokoh ruangnya.
Perlahan waktu memberi jeda untuk mengurai masa, mengenang simfony nada yang pernah tercipta. Mungkin sesaat lagi, sedang aku masih terasing dalam diamku. Menunggu. Entah, apa kelak cukup masaku, berbagi cerita lewat butiran-butiran air mata bahagia atau mungkin lewat tawa yang berduka. Sedang potongan-potongan puzzle itu kian berkurang dari utuh. Satu persatu meluruh bersama waktu yang terus membunuh.
Aku butuh waktu. Menunggu atau terus berlabuh di dermaga bisu. Esok pasti kan menjelang, tentu saja dengan pengertian dan pemahaman yang berbeda. Jika pada akhirnya potongan-potongan puzzle itu kian meluruh, aku yakin kan ada yang datang menyusunnya kembali utuh. Bila nada-nada itu kian hilang, kelak kan ada yang memainkan nada-nada baru untukku. Meski ketukkannya tidak sama, tidak akan pernah sama. Selamanya . . .
Pergilah, sebagaimana keinginan Rabb atas jalan hidup kita.
22 Jan 2013
Di Ujung Senja Rindu itu Membunuh
Seperti senja yang ku eja pada jingga. Warnamu hadir memberi keindahan pada separuh duniaku. Meski rindu kian pongah bergaduh. Sebab asaku jatuh terjerembab jauh melumpuh. Sempat ku sesalkan sesak rindu yang malu-malu. Kini bercendawan menyisakan luka haru. Berjalan, masih harus beribu waktu hingga sampai ke tempatmu. Berlari, masih harus berburu peluru hingga bersarang di dadamu. Takkan kau dengar sedikit petuahku. Duniamu - duniaku, berbeda itu jelas tak jemu. Sedang jenuh membunuh perlahan dalam diamku.
Langit masih bisu menertawakan tatap memelasku. Sampai sayu rindu itu membunuh. Dan tak terdengar lagi detak-detak irama qalbu. Nada biru kian kelabu bersama dawai yang pecah karna rubuh. Daun pintu menggesek perlahan menutup buku. Selaksa kian berjelaga dalam syair-syair bisu. Mimpi mimpi meluruh, bagai pasir tersapu ombak pasang. Kencang angin menerpa prahara layar perahu laju.
Lagu itu kian sumbang dari merdu. Jelas menyisakan luka yang merindu. Tawa yang kucipta dulu, musnah dalam debu. Canda yang kau riakkan lalu, hancur dalam semerbak kesturi yang meluluh. Kukirimkan lewat kekata embun kala pagi menyapa daun, kukirimkan lewat kekata hujan kala mendung memuntahkan rinai, kukirimkan lewat kekata mentari kala sengatnya menyapa pagi, kukirimkan lewat kekata angin kala hembusannya menerpa pepohonan di beranda rumah tuaku, kukirimkan kekata senandung senja kala pelangi hadir dalam biru jingga, kukirimkan pilu rindu yang masih tak habis dalam duka nestapa.
Diamku adalah melodi dalam remuk sepekat senja. Yang menjarah bahagia dalam sepersekian masa. Melebur dalam kehambaan. Melerai serbuk jingga dalam makna kehidupan. Deras, mengaliri cawan kemanusiaan. Gontai, tersudutkan kenyataan tak bertuan.
Lagu itu kian sumbang dari merdu. Jelas menyisakan luka yang merindu. Tanpa suaramu dalam sisi gelap terangku . . .
Di ujung Senja Rindu itu membunuh.
10 Jan 2013
Menunggu
Menunggu, tidak harus menggunakan momentum.
Pergipun nanti untuk apakah?
Sebuah ketulusan kah?
Atau berharap keajaiban terjadi.
Inikah jalan abadi itu?
Sedang kita teramat larut dalam ribuan pilihan di ujung mata
Sedang kesempatan mungkin tak datang untuk yang kedua
;bersabar untuk kesekian kali
Sebab dunia ini tak berbatas
Berjalan mengitarinya akan mengembalikan langkah ketempat semula.
Rabbi, . . Kau segalanya.
Ruang Bisu,
10.1.13
Pergipun nanti untuk apakah?
Sebuah ketulusan kah?
Atau berharap keajaiban terjadi.
Inikah jalan abadi itu?
Sedang kita teramat larut dalam ribuan pilihan di ujung mata
Sedang kesempatan mungkin tak datang untuk yang kedua
;bersabar untuk kesekian kali
Sebab dunia ini tak berbatas
Berjalan mengitarinya akan mengembalikan langkah ketempat semula.
Rabbi, . . Kau segalanya.
Ruang Bisu,
10.1.13
Bahagia Itu Sederhana
Bahagia itu sederhana,
Cukup selalu tersenyum dan selalu bersyukur
Namun yang tak sederhana adalah ketika harus selalu tersenyum ketika suasana duka menyelimuti, ketika asa amarah menguasai, ketika airmata terendap-endap mengikuti.
Namun yang tak sederhana adalah ketika harus selalu bersyukur ketika kondisi sempit menghampiri, ketika harapan pupus mengecewai, ketika keinginan tak terpenuhi.
Bahagia itu sederhana,
Cukup selalu tersenyum dan selalu bersyukur
Meski duka menyelimuti, meski amarah menguasai, meski air mata terendap-endap mengikuti.
Meski kondisi sempit menghampiri, meski harapan pupus mengecewai, meski keinginan tak terpenuhi.
Bahagia itu sederhana,
Cukup mengatakan pada dunia, Ya aku Bahagia. Bahagia membersamaimu disisa-sisa usiaku.
Cukup selalu tersenyum dan selalu bersyukur
Namun yang tak sederhana adalah ketika harus selalu tersenyum ketika suasana duka menyelimuti, ketika asa amarah menguasai, ketika airmata terendap-endap mengikuti.
Namun yang tak sederhana adalah ketika harus selalu bersyukur ketika kondisi sempit menghampiri, ketika harapan pupus mengecewai, ketika keinginan tak terpenuhi.
Bahagia itu sederhana,
Cukup selalu tersenyum dan selalu bersyukur
Meski duka menyelimuti, meski amarah menguasai, meski air mata terendap-endap mengikuti.
Meski kondisi sempit menghampiri, meski harapan pupus mengecewai, meski keinginan tak terpenuhi.
Bahagia itu sederhana,
Cukup mengatakan pada dunia, Ya aku Bahagia. Bahagia membersamaimu disisa-sisa usiaku.
8 Jan 2013
Secangkir Teh
Seperti malam, bergelayut pada gulita langit tua. Menjelajah lewat denting masa yang meraba maya. Dunia ini fana, penuh kefanaan yang durja. Selarut malam, kurangkai mega diatas kanfas maya, mengukir dengan indahnya, kuharap begitu.
Lalu lelah, menyapa perlahan dengan tegasnya, merubah suasana suka menjadi jengah. Entah mengapa. Lagi-lagi ia hadir dengan sendirinya, dua bayangan dalam satu cermin. Kenapa bisa? Entahlah.
Secangkir teh ini menemaniku dalam kebimbangan. Antara ragu atau meragukan keraguan itu. Nyatanya kebaikan hanya mampu dilihat oleh mereka yang berhati bersih. Sedang aku? Aku begitu kotor saat ini.
Bercerminlah dengan khusyuk, maka kau akan menemukan dirimu sendiri. Suara yang entah darimana itu terus mengiang-ngiang di kepala saya. Seolah ia terus mengingatkan diri saya. Dan suasana ini tak pernah sehening saat suara itu mengiang-ngiang di telinga.
Lagi-lagi, orang-orang bertanya dengan pertanyaan "Kenapa?", sedang saat diperjelas alasannya, jawaban itu tak pernah membuat mereka puas untuk berhenti bertanya. Kita terkadang begitu pongahnya dengan pengetahuan kita yang terbatas. Ah, tak lepas juga aku, si manusia yang sok tau dengan ilmu ala kadarnya. Harusnya belajar, belajar dan terus belajar untuk mendewasakan diri, untuk mnerima takdir tanpa air mata. Tapi apa mungkin tanpa air mata? Sedang menangis begitu menenangkan, meski tidak menyenangkan.
Aku sakit, katamu. Hendak meminta sedikit simpati atau perhatian dariku? Cukuplah Allaah bagimu. Panas suhu tubuhku hanya akan membuatmu mengumpatku atau menilai miring tentangku. Tak mengapa bagiku, Asal Dia tak murka padaku, itu sudah sangat cukup membuatku tenang.
Dan berjalanlah dengan ketegasan, kepastian, keyakinan, dengan pegangan yang menguatkan langkahmu. Bukankah keyakinanmu ibarat mata pedang tajam yang baru diasah?
Ragu itu pasti hilang, kuatkan azzam pasrahkan pada-Nya. ---Faidza azzamta fatawakkal 'alallaah
4 Jan 2013
Rindu~
Malam semu menggantung, menyisakan butir-butir kehidupan ditengah lelapnya jiwa-jiwa yang penuh peluh. Kuuraikan makna langit ditengah persembunyian bebintang, rembulan pun tiada. Sedang aku begitu merindu purnama. Bias cahaya mentari membuat terangnya kian indah dan rupawan. Dan malam selalu temankan kilau permatanya bak di istana raja.
Baru saja kemarin kulihat ia menyapa, namun tetiba hilang tanpa kutahu dimana arah terbitnya. Ingin sejenak berceloteh dengannya, tentang malam yang selalu menyejukkan tubuh hingga merasuk ke tulang-tulangku, tentang harapan yang kucipta saat hujan menghujam di langitku.
Kau tau apa itu rindu? Ia umpama garis yang membentuk huruf, lalu huruf-huruf tersusun menjadi kekata, dan kekata bersambung menjadi kalimat, hingga kalimat itu saling mengait menjadi sebuah paragraf, mengalun lembut, bersambungan, berkaitan, berirama, bercerita dan entah dimana ujungnya. Hanya titik abadi yang dapat menghentikan alur cerita itu. Begitu juga dengan rindu.
Dan rinduku sudah sampai dimana ia? Entah!
Kuharap rindu itu tau kalau aku membutuhkan titik. Karna hingga sampai detik ini rindu itu tak pernah mampu kubunuh. Hm . . . maaf ya, ini bukan tentang "kau". Ini tentang "Rindu".
Jauh kuserak pandanganku ke atas langit. Indah bukan? Melihatnya ibarat melampiaskan segala rindu. Rindu yang hanya terpendam dalam selaksa. Seperti pagi dan senja. Dua langit yang sama memiliki jingga tak terkira indahnya. Meski sejenak, namun tetap memberimu warna kedamaian, memberimu hikmah kehidupan, tentang keoptimisan dan keikhlasan.
Senja. Ada rinduku pada senja. Selalu kubisikkan padanya tentang selaksa yang tertanam menahun ini. Dan pekat jingga di ujung senja selalu memberi kepastian tentang hadirnya malam. Malam bersama rembulan. Suatu kisah kehidupan perjalanan anak manusia, tentang pengorbanan, tentang kesungguhan, tentang perjuangan dan segala berakhir pada kata perpisahan.
Gulita malam membuat rindu mengerang kesakitan. Kuharap pagi segera datang, agar tiada merintih tubuh sebab linu menahan sesak menahun.
Dan rindu . . . Istirahatlah sejenak, aku pun teramat lelah untuk membiarkanmu dalam bisu. Esok pasti akan baik-baik saja. Istirahatlah di dalam gubuk sederhana yang selama ini kita bangun bersama.
--------------------------------
Ruang Rindu
4.1.13
Baru saja kemarin kulihat ia menyapa, namun tetiba hilang tanpa kutahu dimana arah terbitnya. Ingin sejenak berceloteh dengannya, tentang malam yang selalu menyejukkan tubuh hingga merasuk ke tulang-tulangku, tentang harapan yang kucipta saat hujan menghujam di langitku.
Kau tau apa itu rindu? Ia umpama garis yang membentuk huruf, lalu huruf-huruf tersusun menjadi kekata, dan kekata bersambung menjadi kalimat, hingga kalimat itu saling mengait menjadi sebuah paragraf, mengalun lembut, bersambungan, berkaitan, berirama, bercerita dan entah dimana ujungnya. Hanya titik abadi yang dapat menghentikan alur cerita itu. Begitu juga dengan rindu.
Dan rinduku sudah sampai dimana ia? Entah!
Kuharap rindu itu tau kalau aku membutuhkan titik. Karna hingga sampai detik ini rindu itu tak pernah mampu kubunuh. Hm . . . maaf ya, ini bukan tentang "kau". Ini tentang "Rindu".
Jauh kuserak pandanganku ke atas langit. Indah bukan? Melihatnya ibarat melampiaskan segala rindu. Rindu yang hanya terpendam dalam selaksa. Seperti pagi dan senja. Dua langit yang sama memiliki jingga tak terkira indahnya. Meski sejenak, namun tetap memberimu warna kedamaian, memberimu hikmah kehidupan, tentang keoptimisan dan keikhlasan.
Senja. Ada rinduku pada senja. Selalu kubisikkan padanya tentang selaksa yang tertanam menahun ini. Dan pekat jingga di ujung senja selalu memberi kepastian tentang hadirnya malam. Malam bersama rembulan. Suatu kisah kehidupan perjalanan anak manusia, tentang pengorbanan, tentang kesungguhan, tentang perjuangan dan segala berakhir pada kata perpisahan.
Gulita malam membuat rindu mengerang kesakitan. Kuharap pagi segera datang, agar tiada merintih tubuh sebab linu menahan sesak menahun.
Dan rindu . . . Istirahatlah sejenak, aku pun teramat lelah untuk membiarkanmu dalam bisu. Esok pasti akan baik-baik saja. Istirahatlah di dalam gubuk sederhana yang selama ini kita bangun bersama.
--------------------------------
Di daun yang ikut mengalir lembut terbawa sungai ke ujung mata.
Dan aku mulai takut terbawa cinta menghirup rindu yang sesakkan dada.
Ruang Rindu
4.1.13
27 Des 2012
Selaksa Kehidupan
Dan malam menghadirkan kesenyapan
dipenghujung hiruk pikuk euforia kehidupan.
Ini sudah larut bukan?!
Namun masih dengan nada yang sama kudengarkan
Syahdu, mengalun merdu
Lewat nada Selaksa Pelangi
Yang hadir mengisi cawan hari.
Cukuplah kemarin tatapan langit begitu sendu
Warnanya kelabu menutup biru.
Riak-riak itu kini meredup
Tertutup hitam dalam gelapnya hidup.
Mungkin kini kita tengah mencintai apa yang dulu kita benci.
Mungkin kini kita tengah belajar bijak agar tak menyakiti.
Mungkin kini kita tengah bangkit dari keterpurukan diri.
Tiap-tiap kesakitan hari ini, akan diganti dengan kebahagiaan di esok hari.
"Bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al Insyirah)
dipenghujung hiruk pikuk euforia kehidupan.
Ini sudah larut bukan?!
Namun masih dengan nada yang sama kudengarkan
Syahdu, mengalun merdu
Lewat nada Selaksa Pelangi
Yang hadir mengisi cawan hari.
Cukuplah kemarin tatapan langit begitu sendu
Warnanya kelabu menutup biru.
Riak-riak itu kini meredup
Tertutup hitam dalam gelapnya hidup.
Mungkin kini kita tengah mencintai apa yang dulu kita benci.
Mungkin kini kita tengah belajar bijak agar tak menyakiti.
Mungkin kini kita tengah bangkit dari keterpurukan diri.
Tiap-tiap kesakitan hari ini, akan diganti dengan kebahagiaan di esok hari.
"Bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan."
(QS. Al Insyirah)
21 Des 2012
Senandung Hujan
Masih tentang hujan, yang menemani sendiri dalam keterasinganku. Yang
membasahi bumi dalam kekeringanku. Hujan. . . yang selalu menemani,
tanpa mimpi berharap mentari hadir setelahnya. Ini sudah senja bukan?
Sudah saatnya mentari tenggelam. Dan malam terlihat lebih menenangkan
daripada sinar jingga mentari yang tak memungkinkan untuk kembali
merajut rintikan hujan.
Sudahlah, tak perlu menghindar dari mentari bukan?! ada atau tidaknya ia, kita masih tetap bisa merajut tiap rintikan hujan. Seperti yang semua orang inginkan. Setiap akhir cerita berakhir bahagia, jika tidak di dunia, mungkin di syurga.
Bukankah Dia lebih berhak atas kehidupan kita?
Dan hujan akan selalu menenangkan dikala rintikannya terajut indah penuh makna, tanpa paksaan, tanpa pengabaian, hanya rajutan dengan penuh kesabaran jua keikhlasan.
Hari-hari itu kuharap selalu menyenangkan
3.11.12
Medan ^^
Sudahlah, tak perlu menghindar dari mentari bukan?! ada atau tidaknya ia, kita masih tetap bisa merajut tiap rintikan hujan. Seperti yang semua orang inginkan. Setiap akhir cerita berakhir bahagia, jika tidak di dunia, mungkin di syurga.
Bukankah Dia lebih berhak atas kehidupan kita?
Dan hujan akan selalu menenangkan dikala rintikannya terajut indah penuh makna, tanpa paksaan, tanpa pengabaian, hanya rajutan dengan penuh kesabaran jua keikhlasan.
Hari-hari itu kuharap selalu menyenangkan

3.11.12
Medan ^^
20 Des 2012
Maka Renungkanlah . . .
Maka cukuplah, tiap-tiap kejadian yang menyakitkan adalah sebagai teguran dari Dia- Allaah. Agar kita memahami dan menyadari, segala apa yang terjadi adalah sudah sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Tiap-tiap perbuatan baik kita, kelak akan dibalas kebaikan pula. "Hal jazaa ul ihsan illal ihsan". Begitupun sebaliknya, segala perbuatan jahat kita kelak akan kembali lagi kepada kita. Semua telah tertulis dalam kitab-Nya. Maka renungkanlah sejenak sebelum melakukan sesuatu. Agar tiada luka yang kita toreh pada hari yang dijalani.
16 Des 2012
Menembus Batas Kehidupan
Kita menari, diantara dua bayangan. Hitam putih. Kau aku. Kita. Terus menari, mencari nada yang bersesuaian. Berkali berhenti atau mungkin terhenti, lalu kita pergi dan kembali membersamai hari. Menyapa lewat misykat qalbu, berkata lewat sajak yang patah, menepi lewat mimpi, berbagi, menginspirasi, bertukar pendapat, sesekali beradu argumentasi, lalu diam atau mungkin mendiamkan.
Kadang kekesalan itu hadir, ketika jelas berbuat kesalahan tiada gerak sapa untuk mengajukan kata maaf. Hanya butuh sapa kata, meski dihati, jauh dilubuk sebenarnya telah lebih dulu memberi maaf. Hanya mencari kepedulian diantara bekunya suasana bagai batu, seperti tak pernah menyatu sebelumnya.
Dan kadang diam untuk menghindar adalah kebaikan. Agar tiada celah amarah yang sejak kemarin tertahan terlampiaskan. Dan adakalanya pun diabaikan adalah sebuah kebaikan, ketika yang mencari-cari perhatian menjadi begitu ingin terus diperhatikan.
Hidup ini begitu, hidupmu, hidupku, hidup kita semua manusia. Berjalan sesuai dengan garis edarnya. Sesuai dengan apa yang menjadi kehendak-Nya. Yang telah terjadi, kita tak bisa lagi memilih. Yang akan terjadi nanti ada diantara kesempatan dan pilihan, atau jua ketentuan takdir Allaah.
Maka bersabarlah, ketika segala keinginan tak terwujud dengan segera. Allaah lebih tau apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Maka bersyukurlah, ketika memiliki segala yang telah ia beri meski kita begitu menginginkan yang lainnya.
Sebab Allaah tak pernah main-main dengan janji-Nya.
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?"
Kadang kekesalan itu hadir, ketika jelas berbuat kesalahan tiada gerak sapa untuk mengajukan kata maaf. Hanya butuh sapa kata, meski dihati, jauh dilubuk sebenarnya telah lebih dulu memberi maaf. Hanya mencari kepedulian diantara bekunya suasana bagai batu, seperti tak pernah menyatu sebelumnya.
Dan kadang diam untuk menghindar adalah kebaikan. Agar tiada celah amarah yang sejak kemarin tertahan terlampiaskan. Dan adakalanya pun diabaikan adalah sebuah kebaikan, ketika yang mencari-cari perhatian menjadi begitu ingin terus diperhatikan.
Hidup ini begitu, hidupmu, hidupku, hidup kita semua manusia. Berjalan sesuai dengan garis edarnya. Sesuai dengan apa yang menjadi kehendak-Nya. Yang telah terjadi, kita tak bisa lagi memilih. Yang akan terjadi nanti ada diantara kesempatan dan pilihan, atau jua ketentuan takdir Allaah.
Maka bersabarlah, ketika segala keinginan tak terwujud dengan segera. Allaah lebih tau apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Maka bersyukurlah, ketika memiliki segala yang telah ia beri meski kita begitu menginginkan yang lainnya.
Sebab Allaah tak pernah main-main dengan janji-Nya.
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?"
[ QS. Al-An'aam (Al-An'am) [6] : 32]
#SangPembelajar
7 Nov 2012
~Kita
Kita bicara,
dalam ruang yang berbeda.
Berbahasa, dengan bahasa sederhana.
Saling sapa dengan kata yang bersahaja.
Mengolah kata, menjadikannya bernada.
Tanpa suara, tapi sarat kan makna.
Kita bicara,
dalam gulita menuju cahaya.
Pekatnya menuntun cerita kita kian berirama.
Menjadikan satu diantara berjuta kisah sandiwara kehidupan. Perlahan menguntai rajutan kata, meninggalkan jejak diantara jiwa-jiwa yang merindu.
Masih.
Akan kemanakah kaki melangkah?
Sedang jelas kaki mungil itu berlari,
mengitari lorong-lorong kecil disekitarnya.
Mengeja setiap bait rintikan hujan.
Lewat melodi senja kala tersibak senandung jingga
Diantara biru pujangga.
Aku, Kamu, dan Cerita kita :)
5 Nov 2012
Hujan . . .
Hujan . . .
Dan aku semakin kehilangan harapan yang tak bertuan
Termangu dalam keramaian yang seolah semu
Waktu seolah menindih begitu pilu
Ada apa gerangan diluar pintu?
Sedang hasrat terus mengeras jadi batu
Tiada sesuatu pun yang menau
Hidup pun seolah bisu.
Kotak Putih,
5.11.12
1 Nov 2012
~Sajak Daun
Pesta belum dimulai, namun jauh disudut ruang sudah ada yang begitu gelisah. Ingin pergi, tapi kemana? Seolah semua pijakan sama saja. Selalu mencari tujuan baru, mengenal orang baru, meski itu tak sepenuhnya mengobati. Lagi, terdiam ditempat yang baru. Padahal seharusnya disana adalah saat-saat yang menyenangkan. Bukankah disana hanya pelarian? hingga tak perlu hingar bingar dengan riuhnya suara-suara para penjual di pasar.
Jika bumi yang kupijak saat ini tidak memberikan ketenangan, itu karena ada ruang disudut qalbuku yang menggelegar. Kenapa? Entah. . .
Beginilah hidup, seharusnya aku lebih bijak. Dan menyadari bahwa diam tak selamanya emas, bahwa diam berarti melepas kesempatan, karena diam bukan menunggu, tak semua orang dapat berlaku seperti itu. Diam adalah beku.
Dan saat menyadari sepenuh arti, embun tlah menguap dalam genggaman daun. Esok pagi, kan kujelang kembali embun yang lain. Semoga akhirnya kuraih tarian sang embun diatas daunku.
*Rabb. . . masih bolehkah harap ini pada-Mu?
~Season Of Hope~
19 Okt 2012
#Lelah
Bu. . .
Aku lelah ,
Sudah bolehkah aku istirahat?
Atau masih harus terus berjuang dengan sisasisa kekuatanku?
Sedang aku teramat lelah ,
Bu. . .
Aku mengeluh ,
Tidak bolehkan aku jenuh?
Atau masih harus terus menggebu dengan puingpuing semangat yang pecah berserakan?
Sedang aku teramat lelah ,
Sedang aku teramat lelah ,
Bu. . .
Dekap aku lebih erat.
5 Okt 2012
#Dan
Dan tak perlu kau tanya aku, tentang hari ini, tentang apa
yang menjadi sorotan mata tajam ini.
Adakah aku diamkan?
Adakah aku uraikan?
Sedang tanyaku begitu jelas menghampirimu, tanpa kata bersayap, tanpa isyarat yang berkarat.
Mengertikah dengan diam ini?
Mengertikah sapa kosong ini?
Mengertikah . . .
Atau aku yang terlalu lugu dengan kepolosanku?
Adakah aku diamkan?
Adakah aku uraikan?
Sedang tanyaku begitu jelas menghampirimu, tanpa kata bersayap, tanpa isyarat yang berkarat.
Mengertikah dengan diam ini?
Mengertikah sapa kosong ini?
Mengertikah . . .
Atau aku yang terlalu lugu dengan kepolosanku?
5 Oktober 2012
#Adalah Diam
Adalah diam terasa lebih menyeramkan ketika tanya bergelantungan
tanpa jawaban kepastian.
Adalah diam lebih menenangkan bagi yang acuh akan sapaan.
Terlalu sederhana untuk terluka,
Bahkan jika yang melukai tak menyadari
Cukup kesakitan itu menjadi saksi,
Bercerminlah pada diri, lebih khusyuk dari bayangan. Agar kau
mengerti bahwa ada kesadaran yg harus dimiliki.
Langganan:
Postingan (Atom)
Dua beda
Terkadang luka ada baiknya datang diawal. Agar kau tau bahwa hidup tak hanya tentang cinta. Gemerlap dunia hanya persinggahan yg fana. Me...
-
aku belum melakukan iniiii >>> Lapor pajak tahunan, buat Neraca 2012, ngoreksi hutang piutang, Ngoreksi nilai buku aktiva, pengarsi...
-
Setangguh Elang Yang mengepakkan sayapnya saat terbang. Lalu hilang Dibalik rimbunan dedaunan 09 January 2011
-
“Kalau Tuhan menginginkannya terjadi, maka sebuah kejadian pasti terjadi. Tidak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu menggagalkannya....