Selamat datang pagi, apa kabarmu? Kuharap kau baik disana. Begitupun denganku disini. Sudah lama aku tak mendengar kabarmu, tentunya ada cerita yang berbeda diantara kita sepanjang perputaran waktu yang menyembunyikan wujudmu dari hari-hariku. Padahal dahulu kita selalu bersama, ya . . . hampir selalu bersama-sama. Hanya beberapa jeda saja kita berpisah sejenak. Tapi nyata, tidak untuk saat ini.
Genap satu dekade perpisahan itu terjadi, kau pergi tanpa memberi kabar sedikitpun untukku. Yang kuingat malam itu kau mengetuk jendela kamarku berulang-ulang. Dan bodohnya, aku lebih memilih bersembunyi didalam selimut tebalku. Malam itu sungguh sangat dingin. Benarkan itu kau yang mengetuk? Feelingku berkata itu kau.
Hei . . . tahukah kau? Pohon kelapa yang dahulu pernah kita tanam, kini sudah bertumbuh menjadi besar, bahkan kini ia telah berbuah menjadi banyak. Mungkin sama seperti rinduku, bertumbuh seperti pohon kelapa kita. Tak tergesa, tapi ia ada. Tak kubiarkan sesiapapun memetiknya. Bukankah siapa yang menanam, ia yang menuai?! Bukankah kau sangat ahli memanjat pohon kelapa? Aku ingin kaulah orang pertama yang memetik kelapa itu. Untuk kita nikmati bersama atas apa yang pernah kita tanam.
Waktu perlahan membunuh kesegaran kelapa hijau itu. Satu persatu buahnya jatuh sendiri, alam yang kini memetiknya. Layu, membusuk jadi bangkai diatas tanah. Namun setelahnya tumbuh tunas baru, begitu juga dengan rindu. Adakah kau akan kembali? Bersama kita menuai jerih payah kesabaran kita pada arti kata menunggu. Aku ingin segera menikmati segarnya air kelapa hijau, mengolah kelapanya menjadi penganan makanan, dan kau mengukir batoknya menjadi kerajinan tangan sebagaimana keahlianmu.
Hari ini, lewat dari hari yang pernah kita prasastikan. Mungkin artiku adalah tak lagi menunggu. Mungkin pun kau telah lupa pada janji yang pernah kau baitkan dalam sajak malammu. Atau hanya aku yang menganggap itu sebuah janji? Entahlah. Dimensi kita berbeda sekarang. Seperti kicauan alam, aku yang tetap setia pada laut, dan kau yang berubah menjadi gunung. Dan jeda itu benar-benar membuat kita pada akhirnya terpisah pada jarak sedemikian ini.
Denting bergenting. Gumamku hanya menambah sendu diantara gurat malam yang kian mengejewantah lewat pekatnya jingga diujung senja. Kembali malam ke peraduannya. Dan kembali pula aku membawa pupus setelah seharian menunggumu di gerbong kereta. Dan sosok itu, mungkin selamanya takkan pernah kulihat lagi disini. Meski aku tak pernah berhenti untuk berharap bersitatap denganmu lagi setiap kali melewati Stasiun Kereta ini.
Pagi . . . Apa kabar? Adakah kau akan kembali untukku? Sedang malam malam yang kulewati terasa begitu pekat tanpa hadirmu disini. Dan aku teramat ingin menyapa pelangi pada pagi di dekat istana pasir milik kita di pinggir pantai. Angin, ombak, laut biru, riak-riak bangau, dan semilir nyiur melambai. Akankah?
"Kau ciptakan asa sedemikian rupa, hingga menyesak dalam dada. Lalu ketika ku ingin menguraikannya lewat makna, semua terendap dalam selaksa. Seperti pohon kelapa, bertumbuh menahun tiada tergesa. Berbuah, jatuh membusuk hingga bertumbuh tunas yang baru. Menebangnya hanya akan membuatnya benar-benar mati. Tapi tak kau sadari ada tunas-tunas lain yang kan bertumbuh kembali. Jika bangkainya ibarat kebencian, maka itu hanya sesaat. Sebab tunasnya telah bertumbuh lewat celahnya. Tinggal menunggu waktu saja."
#Chapter
#Chapter
5.1.13