Bahwa ada pilihan-pilihan dalam
menyusun cita dan langkah di jalan cinta para pejuang, biarlah kali ini dua
orang wanita mengajari kita. Wanita pertama bernama Habibah binti Sahl, istri
Tsabit ibn Qais. Suatu masa ia datang kepada Rasulallah saw. Ia berkata,
”... Aku tidak mengingkari kebagusan akhlaq dan agamanya, Ya Rasulallah.
Tetapi aku takut menjadi kufur jika tak bercerai darinya. Aku takut jika terus
menerus bermaksiat padanya karena ketidaktaatan pada suami, dan aku tahu itu
menyalahi perintah Allah...”
Rasulallah bersabda,
”Maukah engkau mengembalikan kebun-kebunnya?” Habibah menjawab,
”Ya...!” Maka Rasulallah bersabda kepada Tsabit, ”Ambil
kembali kebun itu, dan thalaq-lah istrimu satu kali!”
Habibah begitu mengerti akan
potensi dirinya. Ia tahu resiko yang kemungkinan besar terjadi sebagai
konsekuensi dari bertemunya realita kondisi yang ia hadapi dengan watak, sifat
dan karakter dirinya. Maka ia bicara tentang sebuah hak yang memang semestinya
ia peroleh.
Ia tidak tercela. Bagaimanapun
ada harapan-harapan tersendiri bagi seorang wanita untuk mendapatkan suami yang
begini dan begitu. Siapapun tidak berhak mengatakan Habibah berselera rendah
karena menolak Tsabit ibn Qais semata karena alasan fisik. Dan sebenarnya
alasannya lebih pada dirinya sendiri yang khawatir kufur kepada Allah atas
kondisi suaminya. Ada hal yang lebih besar yang ia takutkan, yakni kufur pada
nikmat Allah, dan durhaka pada suami. Habibah memilih untuk bertaqwa pada Allah
dengan meminta cerai dari seorang suami yang sulit diterima oleh perasaannya.
Selalu ada ruang dan ruang itu
berisi pilihan-pilihan. Tetapi, bicara tentang kemuliaan, tentu lebih dari
sekedar bicara tentang hak.
Inilah kisah tentang wanita
kedua. Dengarlah, dalam riwayat Imam An Nasa’i, ’Aisyah bercerita
dalam perasaan yang senada. ”Ada seorang gadis remaja dinikahkan dengan
seorang laki-laki. Ia kemudian berkata padaku, ”Sesungguhnya ayah telah
menikahkanku dengan putera saudaranya agar martabatnya dapat terangkat melalui
diriku. Tetapi aku tidak menyukainya...!”
’Aisyah lalu mengajaknya
bertemu dengan Rasulallah. Kemudian Rasulallah mengutus seseorang untuk
memanggil ayahnya agar hadir ke rumah beliau. Ketika sang ayah hadir,
Rasulallah menyerahkan kembali urusan hal pernikahan kepada sang gadis. Dan
gadis itu berkata’ ”Ya Rasulallah, sebenarnya aku telah ridha akan
apa yang dilakukan ayah kepadaku. Hanya saja, aku berkeinginan untuk
memberitahukan kepada para wanita, bahwa mereka memiliki hak dalam masalah
ini.”
Ada hak dalam menolak pernikahan
yang digagas orang tua. Tapi ada kemuliaan dalam mentaati orang tua dan
berbakti pada mereka. Wanita agung ini memilih yang kedua. Bukanya tanpa
resiko. Karena dalam pernikahan ini ianya harus membangun cinta, mengatur
perasaannya dari titik tidak suka. Menarik. Karena gadis ini mengungkap satu
pelajaran besar tentang hak wanita untuk menentukan pilihan. Ia memperjuangkan
hak saudari-saudarinya agar mendapat ketegasan pengakuan dari Allah dan
RasulNya. Dan jauh lebih menarik, karena ia mengungkap kemuliaan sebuah kata
ridha kepada orang tua, dan keagungan kata shabar atas ujian.
Begitulah. Selalu ada ruang
diantara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi pilihan-pilihan. Maka
itulah gunanya misteri takdir. Agar kita memilih diantara bermacam tawaran.
Sumber:
Web In RZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak dengan sejuta manfaat yang memotivasyifa^_^