Oleh : Adih Amin, Lc.
Perjalanan hidup ini melelahkan, ya sangat melelahkan.
Betapa tidak, di saat idealisme kita dihadapkan pada realita yang
beraneka ragam corak dan warnanya, kita harus bertahan karena kita tidak
ingin tujuan hidup ita yang jauh ternodai dengan kepentingan sesaat.
Ini bukan soal halal atau haram terhadap dunia dengan segala
keindahannya, tapi soal menyikapinya agar tidak tergiur dan terpedaya
olehnya.
Gambaran ini dapat kita rasakan di saat harus mengatakan
"tidak" di hadapan mereka semua yang berkata "iya". Ketika ramai-ramai
orang bicara ini dan itu dengan segala argumentasinya, tuntutan
idealisme kita membisikkan kita untuk "diam", tatkala orang lain menilai
bahkan mengecam kita dengan tuduhan ini dan itu, idealisme kitapun
hanya mengisyaratkan kita untuk sekedar senyum tanpa kata-kata. Di saat
orang beretorika dengan segala keahlian bahasanya, idealisme kitapun
hanya meminta kita untuk membaca pikiran di balik pikiran. Dan ketika
orang ramai-ramai memperbincangkan dunia dengan segala kenikmatannya,
idealisme kitapun hanya mengalunkan satu kata, "qonaah". Itulah idealisme kita di hadapan mereka.
Terkadang tanpa terasa idealisme kita tergeser lantaran
pikiran kita terbawa arus yang kita tidak menyadarinya. Belum lagi
kondisi jiwa kita yang terus bergejolak mempengaruhi pikiran kita.
Pikiran-pikiran itu selalu datang silih berganti tanpa kenal henti
seiring dengan perjalanan hidup ini.
Memang, ini semua kita pahami sebagai sunnah kehidupan.
Gelombang dan badai harus dipahami sebagai ladang ujian, problematika
hidup merupakan hal tidak bisa dipisahkan dari hidup, pahit getir
menjadi bumbu yang harus dirasakan oleh setiap kita, jatuh bangun adalah
tangga yang harus dilalui dalam menggapai sebuah cita-cita.
Letih, lelah itulah yang sering kita rasakan, kita sering
merasakan kejenuhan, bosan bahkan tidak peduli dengan kondisi. Namun
jangan pernah ada perasaan pesimis apalagi putus asa karena di balik
semua itu pasti ada sesuatu yang dapat kita jadikan pengalaman yang
berarti. Dan yang kita perlukan adalah berhenti sesaat. Berhenti bukan
berarti selesai atau sampai di sini. Berhenti untuk merenungi kembali
perjalanan yang telah kita lalui, berhenti untuk memompa kembali
semangat beramal, berhenti untuk mencas batrei keimanan kita agar tidak
redup.
Kita butuh waktu untuk melihat kondisi jiwa kita agar
tetap stabil dan tahan dalam menghadapi segalanya. Kita terkadang lupa
bahwa ada yang harus kita tengok dalam diri kita, "ruhiyah"
kita. Kondisi ruhiyah kita yang selalu membutuhkan suasana yang teduh,
tenang sehingga ia menjadi kekuatan yang akan melindungi jiwa kita dari
berbagai rintangan yang akan menghalangi kita. Kita memerlukan nuansa
ruhiyah yang nyaman agar dapat berpikir jernih dan tetap semangat
menjalani hidup ini. Kita butuh ketegaran jiwa dalam menghadapi hiruk
pikuk hidup.
Inilah yang senantiasa diajarkan oleh Muadz bin Jabal RA kepada sahabatnya dengan ungkapannya yang menyejukkan hati "mari duduk sesaat untuk beriman".
Berhenti sejenak untuk menengok kembali kondisi keimanan agar tetap
terjaga. Karena segala yang kita alami dalam hidup harus dihadapi dan
bukan lari darinya, ingatlah bahwa lari dari masalah tidak akan
menyelesaikan masalah itu, bisa jadi justru akan menambah masalah baru.
Memperbaharui keimanan akan membawa kita untuk memahami hakekat hidup
ini dengan segala problematikanya. Mari kita sempatkan untuk selalu
memperbaharui keimanan kita ditengah kesibukan dan hiruk pikuk
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak dengan sejuta manfaat yang memotivasyifa^_^