28 Apr 2012

Hujan Turun


tak ada waktu tuk menjelaskan
tak sangka ini kan datang
tiap liku berbagi hidup
sejenak melepas lelah
kau tinggalkan diriku

waktu hujan turun
di sudut gelap mataku
begitu derasnya
kan ku coba bertahan

ingat kembali yang terjadi
tiap langkah yang kita pilih
meski terkadang perih
harapan untuk yang terbaik
sekeras karang kita coba
tetap kau tinggal diriku

tak akan ku halangi
walau ku tak ingin kau pergi
kan ku bangun rumah ini
walau tanpa dirimu  

~Sheila On 7~

*gambar diambil dari gugel :)

19 Apr 2012

Kerugian Yang Nyata


Oleh: Yhouga Ariesta

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasehat menasehati supaya menaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al Ashr : 1-3)

Makna Umum Surat Al Ashr

Allah Ta’ala bersumpah (dengan waktu –pent) bahwa semua manusia berada dalam kerugian dan kebinasaan. “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”. Kemudian Allah mengecualikan orang-orang yang beriman dengan amalan hati mereka dan beramal shalih dengan perbuatan mereka. “nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran”, yaitu mengerjakan ketaatan dan meninggalkan keharaman. “Dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”, yaitu bersabar menghadapi musibah, taqdir, dan gangguan orang-orang yang menentang amar ma’ruf nahi munkar. (Tafsir Al Quranul ‘Azhim, Ibnu Katsir)

Keutamaan Surat Al Ashr

Imam Syafi’i rahimahullah berkata mengenai surat Al Ashr, “Seandainya manusia merenungkan surat ini, niscaya mencukupi bagi mereka”. (Tafsir Al Quranul ‘Azhim dalam Hushulul Ma’mul, Syaikh Abdullah Al Fauzan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kesempurnaan seorang manusia ialah ketika ia mampu menyempurnakan dirinya sendiri, dan kemudian menyempurnakan orang lain. Maka surat ini meringkas makna seluruh surat dalam Al Qur’an bagi orang-orang yang ingin memperoleh kebaikan.” (Miftah Dar As Sa’adah, dalam Taisirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdul Muhsin Al Qasim). Yang dimaksud kesempurnaan diri sendiri adalah iman dan amal saleh, dan menyempurnakan orang lain ialah dalam wasiat kebenaran (yaitu dakwah) dan wasiat dalam kesabaran. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Surat ini merupakan timbangan amal yang seharusnya setiap mukmin menimbang dirinya sendiri.” (Latha’iful Ma’arif dalam Taisirul Wushul). Yaitu apakah ia telah melaksanakan hal-hal yang disebutkan dalam surat tersebut agar tidak termasuk orang-orang yang merugi.

Antara Iman dan Ilmu

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal yang paling utama adalah beriman kepada Allah, kemudian jihad” (HR. Muslim). Maka iman merupakan perkara yang paling pokok, dibandingkan amalan-amalan lain dalam hal tingkatan maupun keutamaannya. Adapun iman memiliki dua rukun : [1] mengenal (ma’rifah) apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengilmuinya, dan [2] membenarkannya (tashdiq) dengan perkataan dan perbuatan. Tanpa ilmu, hal ini adalah mustahil. Kedudukan ilmu dengan iman laksana ruh dengan jasad, demikian pula pohon iman tidak akan dapat tegak kecuali dengan batangnya, yaitu ilmu dan ma’rifah. (Al ‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnul Qayyim). Iman tidak dapat diperoleh melainkan dengan ilmu, yaitu mengenal Allah ‘Azza wa Jalla, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. (Syarh Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah).

Ilmu : Mengenal Allah, Nabi-Nya, dan Islam

Disebutkan dalam hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab lainnya, dari Al Bara’ bin ‘Azib dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum, yaitu mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada mayat dalam kuburnya. Pertanyaan tersebut yaitu : “Siapa Rabbmu?”, “Apa agamamu?” dan “Siapa laki-laki ini yang diutus kepada kalian (untuk membawa risalah Islam – yaitu siapa Nabimu)?” Seorang mukmin akan menjawab dengan tegas bahwa Allah adalah Rabbnya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabinya, dan Islam adalah agamanya. Adapun seorang munafiq atau seorang yang ragu akan berkata, “Hah! Hah! Aku tidak tahu! Aku mendengar manusia berkata demikian maka aku pun berkata demikian!” Kemudian ia dipukul dengan gada dari besi yang didengar oleh seluruh makhluk kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, pasti dia akan jatuh pingsan.” (At Tanbihatul Muhtasharah, Syaikh Ibrahim Al Khuraishi)

Mengenal Allah yaitu mengenal-Nya melalui sifat-sifat-Nya yang Allah terangkan dalam Kitab-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang Allah jelaskan dengan perantara Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mencela siapa saja yang tidak mengagungkan-Nya dengan sebenar-benar pengagungan, tidak mengenal-Nya dengan sebenar-benar pengenalan, dan tidak mensifati-Nya dengan sifat yang benar” (Ash Shawa’iqul Mursalat dalam Taisirul Wushul).

Mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari nasab beliau, yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf hingga sampai kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, mengenal bagaimana kehidupan beliau sebelum menjadi Rasul, bagaimana ketika datangnya wahyu dari Allah, dan bagaimana amal perbuatan beliau semenjak diutus menjadi Rasul. Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari sirah/perjalanan hidup Nabi shallallahualaihi wa sallam. Tentunya konsekuensi dari mempelajari hal ini adalah menerima segala yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya, berupa petunjuk dan dinul haq. Mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. Hal ini hanya dapat diperoleh dengan menuntut ilmu syar’i sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Ilmu Apa Yang Wajib?

Ilmu dibagi menjadi dua jenis. Pertama, ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu. Tidak ada seorang pun yang diberi udzur (dispensasi) atas ketidaktahuannya. Ilmu ini mencakup setiap hal yang agama dapat tegak dengannya. Contoh, rukun-rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Wajib (bagi seorang muslim –pent) untuk menuntut ilmu yang agamanya dapat tegak dengan ilmu tersebut” Beliau kemudian ditanya, “Apa saja contohnya?”. Beliau menjawab, “Yaitu apa saja yang dapat segera menghilangkan kebodohan dari dirinya, semisal (ilmu tentang) shalat, shaum, dan semacam itu.” (Al Furu’ li Ibni Muflih dalam Taisirul Wushul)

Termasuk dalam hal ini mengenal lawannya, seperti mengenal pembatal-pembatal syahadat. Begitu pula mempelajari secara rinci rukun-rukun shalat, syarat-syarat shalat, yang wajib dilakukan dalam shalat, sunnah-sunnah dalam shalat, dan pembatal-pembatal shalat. Perincian ini juga wajib diketahui bagi poin-poin rukun-rukun Islam yang lain.

Kedua, yaitu ilmu tentang hukum- hukum syariah yang dibutuhkan oleh ummat, dan bukan oleh masing-masing individu. Semisal hukum jual beli dan muamalat, hukum terkait wakaf, ilmu waris, dan wasiat, hukum-hukum pernikahan, jinayat. Hukum-hukum tersebut apabila dipelajari oleh sekelompok dari ummat hingga menjadi seorang ‘alim di bidangnya, niscaya mencukupi. Karena tugasnya bagi ummat adalah memutuskan hukum, memberi fatwa, dan mengajarkan ilmu tersebut. Oleh karena itu ilmu ini hukumnya fardhu kifayah, apabila semua individu meninggalkannya mereka akan berdosa. (diringkas dari Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Sholih Fauzan)

Ilmu Membuahkan Amal

Tujuan ilmu adalah untuk diamalkan. Ilmu adalah sesuatu yang dituntut ketika seseorang akan beramal dan merealisasikan ‘ubudiyah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka merealisasikan ubudiyah kepada Allah dilakukan dengan dua perkara : Ilmu yang bermanfaat, dan amalan yang shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar” (QS. At Taubah : 33). “Al Huda” ialah ilmu yang bermanfaat, sementara “dinul haq” ialah amalan yang shalih yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Disyariatkan pula kepada kita untuk membaca surat Al Fatihah hingga doa yang paling penting dan paling agung, “Tunjukilah Kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, dan bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat” (QS. Al Fatihah : 6). Orang-orang yang diberi nikmat ialah ahli ilmu dan amal. Orang-orang yang diberi murka adalah ahli ilmu namun tanpa amal, yaitu Yahudi. Orang-orang yang tersesat ialah ahli amal namun tanpa ilmu, yaitu Nashara.

Demikian pula datang dari hadits Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia akan ditanya empat hal : kemudian beliau ‘alaihi shalatu wa sallam menyebutkan : tentang ilmunya apa yang telah ia amalkan dengannya?” (dalam hadits riwayat Tirmidzi, hasan shahih).

Oleh karena itu, wajib bagi seorang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya. Sekadar apa yang telah ia ketahui, diamalkan. Karena demikianlah dahulu para ulama menjaga hafalan ilmu mereka. Demikian pula tanda seorang yang berilmu diketahui lewat amalannya. Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Senantiasa seorang yang berilmu menjadi orang yang bodoh, hingga ia mengamalkan ilmunya. Jika ia telah beramal dengannya, barulah ia menjadi orang yang berilmu.” (diambil dari Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amal, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr)

Keutamaan Dakwah Tauhid

Belumlah cukup bagi seorang manusia untuk sekedar menuntut ilmu dan beramal dengannya. Akan tetapi ia juga dituntut untuk mendakwahkan ilmunya agar ia dapat memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu dakwah kepada syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.”

Oleh karena itu tingkatan tertinggi dalam dakwah yaitu dakwah menyeru kepada tauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Karena tidaklah seluruh Nabi diutus melainkan untuk berdakwah mengajak umat manusia untuk menaati Allah, mengesakannya dalam ibadah, melarang mereka dari syirik dan sarana-sarana yang dapat menjerumuskan mereka dalam kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut” (QS. An Nahl : 36)

Sabar, Kunci Sukses Dakwah

Merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah bahwa mayoritas manusia tidaklah menginginkan kebaikan (pada awalnya), bahkan syahwat, hal-hal yang diharamkan, dan hawa nafsu yang bathil telah menguasai mereka. Maka ketika datang seseorang yang menyeru kepada mereka dan menghendaki kebaikan, sementara mereka sendiri dalam kondisi larut dalam syahwat dan keharaman, terjadilah penentangan baik lewat lisan maupun tindakan. Maka wajib bagi setiap da’i untuk bersabar menghadapi gangguan tersebut, sebagaimana bersabarnya para Rasul menghadapai gangguan yang jauh lebih hebat.

Adakah seorang da’i telah dikatakan sebagai pendusta, tukang sihir, bahkan orang gila? Dilempar dengan batu sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau tengah berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla? Dilempari kotoran ketika beliau tengah bersujud di sisi Ka’bah? Diancam dengan pembunuhan? Mengalami kekalahan bersama para shahabat dalam perang Uhud sebagaimana dialami Rasulullah hingga dua mata rantai penutup kepala menancap ke pipi beliau? Jika belum, maka tentu kita lebih layak lagi untuk bersabar. (diringkas dari Syarh Al Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Shalih Al Fauzan)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (QS. Al An’am : 34). Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata mengenai ayat ini, “Maka bersabarlah sebagaimana mereka bersabar, niscaya kamu akan mendapat pertolongan sebagaimana mereka mendapat pertolongan” (Taisir Karimirrahman)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi taufik kepada kita dalam melaksanakan keempat hal tersebut [Yhouga Ariesta*] *Penulis adalah alumnus Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta, aktif mengurus Ma’had, dan sedang menyelesaikan studi S1 di jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM.


Sumber: Klik Disini

Cinta... oh Cinta...

Oleh: Muhammad Saifudin Hakim

Cinta, sebuah kata yang mampu menggetarkan hati setiap manusia. Dengan alasan cinta pula, sepasang pemuda pemudi yang sedang dimabuk cinta sampai menerjang larangan Allah dengan berduaan, bahkan sampai berzina. Mereka lupa, bahwa di sana ada sebuah cinta yang merupakan puncak kebahagiaan bagi seorang hamba dalam kehidupannya.

Cintaku Hanya Untuk Allah

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, kebaikan bagi seorang hamba yang paling besar ialah jika dia mampu mengalihkan semua kekuatan cintanya kepada Allah semata. Sehingga dia mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa dan raganya. Cinta seperti inilah yang menjadi tujuan kebahagiaan manusia dan puncak kenikmatannya. Hatinya tidak merasa memiliki kenikmatan kecuali menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai yang paling dicintai daripada yang lain, termasuk dirinya sendiri. Sehingga apabila dia disuruh memilih antara kekufuran atau dilemparkan ke dalam api, tentu dia akan memilih dilemparkan ke dalam api.

Seorang hamba seperti ini, tidaklah mencintai kecuali karena Allah semata. Dengan cinta inilah dia akan mendapatkan manisnya iman dalam hatinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Ada tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu, dia lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan dia tidak mencintainya melainkan karena Allah. Dia enggan kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Cinta seperti ini tidak bisa dibandingkan dengan cinta kepada manusia, siapa pun dia. Karena ini merupakan cinta yang menuntut pelakunya untuk mendahulukan siapa yang dicintai (Allah) daripada cintanya kepada nyawa, harta, dan anak-anaknya, serta menuntut kesempurnaan ketundukan, kepatuhan, pengagungan, penghambaan, dan ketaatan lahir maupun batin.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan yang lain dalam cinta yang khusus ini, maka dia adalah orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cinta kepada Allah” (QS. Al Baqarah : 165).

Benarkah Kita Mencintai Allah?

Jika kita bertanya kepada seseorang, apakah dia mencintai Allah? Maka tentu banyak yang mengaku bahwa mereka mencintai Allah. Namun, benarkah pengakuannya itu? Apakah hanya sekedar klaim semata? Apa buktinya bahwa kita benar-benar mencintai Allah?

Jika kita mencintai Allah, maka seluruh cinta kita akan tergantung kepada apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Kita tentu akan mencintai Al Qur’an. Hati kita jatuh cinta kepada makna-maknanya. Seberapa jauh cinta seseorang kepada Allah, sejauh itu pula cintanya kepada kalam-Nya. Namun sayang, banyak kita jumpai orang-orang yang mengaku mencintai Allah, namun lebih senang mendengarkan nyanyian-nyanyian setan daripada mendengarkan bacaan Al Qur’an. Mereka lebih suka menghafal lagu-lagu barat daripada menghafal Al Qur’an. Mereka malah menghabiskan waktu untuk mendatangi konser-konser musik daripada mendatangi majelis taklim yang mengajarkan Al Qur’an. Inikah bukti cinta kepada Allah??!

Jika kita mencintai Allah, tentu kita akan banyak mengingat-Nya, baik dengan hati maupun lisan kita. Oleh karena itu, Allah memerintahkan hamba-hambaNya agar mengingat-Nya dalam setiap keadaan, meskipun sedang berperang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka teguhkanlah hati kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung” (QS. Al-Anfal : 45). Sudahkah kita melaksanakan perintah ini??!

Jika kita mencintai Allah, maka kita pun tunduk dan patuh dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketika cinta dan ketundukan kepada Allah sudah mengakar dalam hati, maka muncullah sikap penghambaan kepada Allah semata. Tidaklah kita beribadah kecuali hanya untuk Allah semata. Kita pun harus berusaha menjauhi perbuatan syirik dan membenci orang-orang yang berbuat syirik.

Jalan untuk Mencintai Allah

Mengingat besarnya kedudukan cinta kepada Allah Ta’ala, maka Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan beberapa sebab yang dapat menghantarkan seseorang untuk benar-benar mencintai Allah Ta’ala. Sebab-sebab tersebut adalah:

Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dicapai dengan membaca kitab-kitab yang menjelaskan kandungannya.

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib.

Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, dengan hati, lisan, dan amal perbuatannya. Dia akan meraih rasa cinta kepada Allah sesuai dengan kadar dzikirnya kepada Allah.

Keempat, lebih mendahulukan cintanya kepada Allah daripada cintanya kepada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya.

Kelima, merenungi kebesaran nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Keenam, mengingat nikmat dan karunia Allah yang telah Allah berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin.

Ketujuh, menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke dunia pada sepertiga malam yang terakhir, beribadah, dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya. Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.

Kesembilan, duduk di majelis yang di dalamnya terdapat perkataan yang bermanfaat.

Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala. (Madaarijus Saalikiin)

Ujian Bagi yang Mengaku Mencintai Allah

Karena begitu banyaknya orang yang mengaku mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka, apakah mereka benar-benar jujur dengan pengakuannya itu. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Katakanlah,’Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian’” (QS. Ali Imran : 31).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa klaim mereka (orang-orang musyrik) tentang kedudukan yang tinggi ini, tidaklah cukup dengan klaim semata. Akan tetapi, harus dilandasi dengan kejujuran. Dan tanda kejujuran tersebut adalah mengikuti Rasulullah dalam ucapan dan perbuatannya, dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, baik lahir maupun batin. Maka barangsiapa yang mengikuti Rasulullah, hal itu menunjukkan benarnya klaim kecintaan mereka kepada Allah. Allah pun akan mencintai mereka, mengampuni dosa-dosa mereka, dan merahmati mereka. Dan barangsiapa yang tidak mengikuti Rasulullah, maka berarti mereka tidaklah mencintai Allah. Sedangkan klaim mereka itu hanyalah klaim dusta semata. (Taisir Karimir Rohmaan)

Sungguh banyak kita jumpai di zaman ini, orang-orang yang mengaku mencintai Allah, namun beribadah dengan cara-cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memperbanyak dzikir dengan dzikir-dzikir yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada pula yang memperbanyak shalat dan puasa dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akibatnya, bukannya kecintaan dan pengampunan dosa dari Allah yang mereka dapatkan, akan tetapi yang mereka dapatkan justru kecintaan setan beserta pengikutnya dan terancam masuk neraka.

Obat Bagi yang Sedang Jatuh Cinta

Mencintai lawan jenis (wanita) merupakan sebuah kewajaran, sebagaimana Rasulullah juga demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Kesenanganku dijadikan di dalam shalat. Dan aku dijadikan menyenangi wanita serta wewangian” (HR. Muslim). Namun, laki-laki diciptakan dalam keadaan lemah ketika menghadapi fitnah wanita. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisaa’ : 28). Ats-Tsaury rahimahullah berkata, ”Maksudnya adalah tidak sabar dalam menghadapi wanita” (Roudhotul Muhibbin).

Allah telah menciptakan obat penawar bagi setiap penyakit dan memudahkan cara untuk mendapatkan obat itu. Barangsiapa yang ingin berobat dengan syari’at Allah, tentu dia akan memperoleh kesembuhan. Sedangkan barangsiapa yang mencari obat dengan sesuatu yang dilarang syari’at, maka dia seperti mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain yang lebih berbahaya.

Syari’at agama Islam yang mulia ini telah menjadikan pernikahan sebagai obat bagi sepasang insan yang saling mencintai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah oleh) orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan” (HR. Ibnu Majah dengan sanad shohih). Demikianlah obat penawar bagi fitnah yang tengah melanda di hati sepasang kekasih yang saling mencintai. Allah tidaklah menjadikan pacaran dengan berduaan, peluk-pelukan, cium-ciuman, atau jalan berdua sebagai obat. Bahkan semua ini merupakan sarana menuju zina yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang cinta, semoga Allah memberikan taufik kepada kita sehingga kita benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya, dengan demikian Allah pun akan mencintai kita. Amiin. [Muhammad Saifudin Hakim]


Sumber: KLik Disini

Meneropong kedalam Hati


Oleh: Ari Wahyudi

Diriwayatkan dari Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan perkara yang haram juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar dan meragukan. Banyak orang yang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang samar dan meragukan itu maka niscaya akan terpelihara agama dan harga dirinya. Dan barangsiapa yang nekad menerjang hal-hal yang samar dan meragukan itu maka dia terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan hewannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir saja dia memasukinya. Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik maka baiklah seluruh anggota badan. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599]).

Makna qalb

Dalam bahasa Arab jantung disebut ‘qalb’, terkadang kata ‘qalb’ juga dipakai untuk menyebut akal (lihat Al-Mu’jam Al-Wasith, 2/753). Al-Farra’ -seorang pakar bahasa Arab- mengatakan bahwa makna qalb dalam ayat (yang artinya), “Bagi orang yang memiliki qalb.” (QS. Qaf : 37) ialah akal (kamus Mukhtar Ash-Shihah, alwarraq.com). Dalam terjemah Al-Qur’an ke bahasa Indonesia yang di tas-hih oleh Departemen Agama ‘qalb’ diartikan sebagai ‘hati’ (lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 520. Penerbit Syaamil). Wal hasil, di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan bahwa akal itu letaknya di dalam hati.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan (Syarh Muslim, 6/108-109), “Di dalam hadits ini terdapat penegasan agar (manusia) berupaya memperbaiki hati serta menjaganya dari kerusakan. Sekelompok ulama berargumen dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa akal terletak di dalam hati bukan di kepala (otak), dan dalam hal ini terdapat khilaf yang masyhur. Pendapat para ulama madzhab kami (madzhab Syafi’i) dan mayoritas mutakallimin menyatakan bahwa akal terletak di dalam hati.” Pendapat serupa juga disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dengan menyebutkan dalil-dalilnya ketika menjelaskan kandungan hadits ini (lihat Fath Al-Bari, 1/158).

Pentingnya memperbaiki hati

Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan pentingnya hati bagi amal perbuatan sebagaimana peranan jantung bagi anggota badan. Jantung memompa darah ke seluruh tubuh sehingga sangat menentukan kesehatan badan, sebagaimana halnya baiknya hati sangat menentukan baiknya amal perbuatan. Maka hadits di atas merupakan rujukan dalam masalah agama dan juga dalam masalah medis/pengobatan (faidah ini kami petik dari rekaman ceramah Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah berjudul Atsarul ‘aqidah ‘alal istiqamah). Ketika mengomentari bagian akhir hadits di atas, Ibnu Rajab -rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik hamba dengan anggota badannya, kemampuannya menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dan keteguhannya dalam menjaga diri dari hal-hal yang syubhat/samar bergantung pada kebaikan gerak-gerik hatinya…” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Makt. Syamilah).

Hati yang hidup, mati, dan sakit

Untuk memperjelas hal ini, marilah kita simak penuturan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berikut ini. Beliau mengatakan (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Albani, hal. 274-275), “Ketahuilah, sesungguhnya hati bisa hidup dan bisa mati, bisa sakit dan bisa sehat. Hati merupakan unsur (non-fisik) yang paling agung di dalam tubuh. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya, “Apakah sama antara orang yang dahulunya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk berjalan di antara manusia, dengan orang yang senasib dengannya namun tetap terkungkung di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya.” (QS. Al-An’aam : 122). Maksudnya orang tersebut sebelumnya mati karena tenggelam dalam kekafiran, kemudian Kami (Allah) pun menghidupkan jiwanya dengan iman.”

Beliau melanjutkan, “Hati yang sehat dan hidup apabila disodori kebatilan dan perkara-perkara yang buruk maka nalurinya akan mendorong untuk menjauhi hal itu dan membencinya serta tidak mau memperhatikannya. Berbeda keadaannya dengan hati yang mati. Hati yang mati tidak mampu membedakan baik dan buruk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara ma’ruf dan mungkar.” Begitu pula halnya hati yang sakit karena terjangkit syahwat. Maka hati (yang sakit) semacam itu -karena kelemahannya- akan condong kepada kebatilan dan keburukan yang disodorkan kepadanya bergantung pada kuat-lemahnya penyakit tersebut.” (hal. 275)

Dua macam penyakit hati

Kemudian Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah memaparkan, “Penyakit hati ada dua macam, sebagaimana yang telah disinggung di depan : penyakit syahwat (keinginan yang terlarang) dan penyakit syubhat (penyimpangan cara berpikir). Penyakit yang paling buruk di antara keduanya adalah syubhat, dan syubhat yang paling buruk adalah yang terkait dengan masalah takdir. Terkadang hati itu menderita sakit dan semakin bertambah parah namun orangnya tidak menyadari hal itu. Hal itu bisa saja terjadi karena dia tidak mau mengenali hakikat kesehatan hatinya dan sebab-sebab untuk menjaganya. Bahkan terkadang hati seseorang mati namun dia tidak menyadari kematiannya. Ciri yang menunjukkan keadaan itu adalah tatkala [1] dosa yang timbul akibat melakukan perbuatan buruk/maksiat tidak bisa lagi membuat hatinya terluka, begitu pula [2] ketika kebodohannya terhadap kebenaran dan ketidak mengertiannya mengenai aqidah yang keliru sudah tidak terasa menyakitkan baginya. Sebab apabila hati masih hidup tentu akan bisa merasakan sakit karena mengalirnya sesuatu yang buruk (dosa) kepadanya, dan merasa sedih dan terluka akibat kebodohan dirinya terhadap kebenaran, dan besarnya rasa sakit itu bergantung pada kadar kehidupan yang ada padanya. (Sebagaimana dikatakan oleh penyair), “Luka yang bersarang di tubuh mayit, tentu tidak lagi menyakitinya.”.” (hal. 275)

Tidak mengamalkan ilmu, sebab hati menjadi keras

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Disebabkan tindakan (ahli kitab) membatalkan ikatan perjanjian mereka, maka Kami pun melaknat mereka, dan Kami jadikan keras hati mereka. Mereka menyelewengkan kata-kata (ayat-ayat) dari tempat (makna) yang semestinya, dan mereka juga telah melupakan sebagian besar peringatan yang diberikan kepadanya.” (QS. Al-Maa’idah : 13). Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk keadaannya. (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 225)

Berjuang melawan penyakit

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah mengatakan dalam Syarahnya, “Terkadang orang merasakan penyakit yang bersarang di dalam hatinya, namun dia mau menahan rasa pahit yang sangat karena menelan obat dan berusaha tetap sabar untuk menyembuhkan dirinya. Maka dia lebih menyukai merasa sakit karena proses pengobatan yang harus dijalaninya begitu susah (daripada membiarkan penyakitnya terus menjalar). Sesungguhnya obat untuk penyakit hati adalah dengan berjuang menyelisihi hawa nafsu. Padahal perkara itu -menyelisihi nafsu- adalah sesuatu yang sangat sulit dan berat bagi jiwa manusia. Namun, memang tidak ada obat lain yang lebih manjur daripada obat itu. Terkadang, ketika berusaha untuk melatih jiwanya untuk sabar kemudian ternyata tekadnya memudar di tengah jalan sehingga hal itu membuatnya tidak mau lagi bertahan; karena begitu lemah ilmu, keyakinan, dan kesabaran dirinya. Hal itu sebagaimana halnya orang yang berusaha menempuh suatu jalan menuju daerah yang aman namun jalan itu diliputi dengan hal-hal yang menakutkan. Padahal si penempuh jalan itu pun menyadari bahwa apabila dia mau bersabar niscaya rasa takut itu akan lenyap dan berakhir dengan rasa aman. Untuk itulah dia memerlukan kekuatan sabar dan keyakinan yang kokoh terhadap tujuan yang akan dicapai. Kapan saja sabar dan keyakinannya melemah, maka dia akan berputar haluan meninggalkan jalan itu dan tidak mau repot-repot merasakan beratnya kesulitan yang ada di sana. Apalagi jika tidak ada teman (baik) yang menyertainya sehingga dia merasa gentar berjalan sendirian (di atas kebenaran), maka dia pun mengeluh, “Di manakah orang-orang (baik) itu, di saat aku membutuhkan mereka; sehingga aku bisa meniru mereka!”. Inilah keadaan yang menimpa kebanyakan orang, dan itulah penyebab kehancuran mereka. Sesungguhnya orang yang benar-benar sabar dan tulus tidak akan merasa gentar hanya karena sedikitnya teman ataupun karena kehilangan kawan; hal ini akan bisa dia rasakan ketika hatinya senantiasa merasakan kebersamaan (persahabatan) dengan generasi yang pertama, yaitu (sebagaimana makna firman Allah), “Orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisaa’ : 69)….” (hal. 275)

Beliau kembali menuturkan, “Tanda sakitnya hati adalah ketika dia berpaling dari mengkonsumsi asupan gizi yang bermanfaat dan cocok (bagi kesehatan hatinya) menuju asupan-asupan yang berbahaya, serta ketika dia berpaling meninggalkan obat yang manjur kepada obat yang membahayakannya. Maka di sini ada empat perkara : [1] asupan yang bermanfaat, [2] obat yang menyembuhkan, [3] asupan yang membahayakan, dan [4] obat yang membinasakan. Hati yang sehat akan memilih sesuatu yang bermanfaat dan menyembuhkan daripada sesuatu yang berbahaya dan menyakiti. Sedangkan hati yang sakit justru sebaliknya. Asupan paling bermanfaat adalah asupan iman, sedangkan obat paling bermanfaat adalah obat Al-Qur’an, dan masing-masing dari keduanya (iman dan Al-Qur’an) juga menyimpan asupan sekaligus obat. Sehingga orang yang menginginkan kesembuhan dengan selain (bimbingan) Al-Kitab dan As-Sunnah, maka dia tergolong ajhalul jaahiliin (orang yang paling bodoh) dan termasuk deretan adhalludh dhaalliin (orang yang paling sesat)…” (hal. 276).

Menimba ilmu, jalan untuk mendapatkan obat

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menuntut ilmu termasuk amal kebaikan yang paling utama, sedangkan kebaikan-kebaikan itu akan melenyapkan kejelekan. Maka sangat layak jika menuntut ilmu karena mengharapkan wajah Allah menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa yang telah lalu. Dalil-dalil menunjukkan bahwa mengikuti kejelekan dengan kebaikan akan dapat menghapuskan kejelekan. Lantas bagaimanakah lagi dengan suatu amal yang tergolong kebaikan paling utama dan ketaatan yang paling mulia! Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, beliau pernah berkata, “Sesungguhnya ada seorang yang keluar dari rumahnya sedangkan dia menanggung dosa yang banyak sebagaimana bukit Tihamah, tatkala dia mendengar ilmu (disampaikan) maka dia pun merasa takut, kembali (taat) dan bertaubat. Maka pulanglah dia ke rumahnya dalam keadaan bersih dari dosa. Oleh sebab itu janganlah kalian memisahkan diri dari majelis para ulama.” (Al-’Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 80). [Ari Wahyudi]


Sumber: Klik Disini

Sabar, Syukur, Istighfar



Oleh: Ammi Nur Baits

Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab “Ats-Tsiqat” kisah ini. Dia adalah imam besar, Abu Qilabah Al-Jarmy Abdullah bin Yazid dan termasuk diantara tabi’in yang meriwayatkan dari sahabat Anas bin malik. Kisah ini diriwayatkan dari seorang mujahid yang bertugas di daerah perbatasan (ribath), Abdullah bin Muhammad, beliau menuturkan:

Saya keluar untuk menjaga perbatasan di Uraisy Mesir. Ketika aku berjalan, aku melewati sebuah perkemahan dan aku mendengar seseorang berdoa,

“Ya Allah, anugerahkan aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmatMu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai. Dan masukkanlah aku dengan rahmatMu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih.” (Doa beliau ini merupakan kutipan dari firman Allah di surat An-Naml, ayat 19).

Aku melihat orang yang berdoa tersebut, ternyata ia sedang tertimpa musibah. Dia telah kehilangan kedua tangan dan kedua kakinya, matanya buta dan kurang pendengarannya. Beliau kehilangan anaknya, yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan…

Lalu aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Wahai hamba Allah, sungguh aku telah mendengar doamu tadi, ada apa gerangan?”

Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai hamba Allah. Demi Allah, seandainya Allah mengirim gunung-gunung dan membinasakanku dan laut-laut menenggelamkanku, tidak ada yang melebihi nikmat Tuhanku daripada lisan yang berdzikir ini.” Kemudian dia berkata, “Sungguh, sudah tiga hari ini aku kehilangan anakku. Apakah engkau bersedia mencarinya untukku? (Anaknya inilah yang biasa membantunya berwudhu dan memberi makan)

Maka aku berkata kepadanya, “Demi Allah, tidaklah ada yang lebih utama bagi seseorang yang berusaha memenuhi kebutuhan orang lain, kecuali memenuhi kebutuhanmu.” Kemudian, aku meninggalkannya untuk mencari anaknya. Tidak jauh setelah berjalan, aku melihat tulang-tulang berserakan di antara bukit pasir. Dan ternyata anaknya telah dimangsa binatang buas. Lalu aku berhenti dan berkata dalam hati, “Bagaimana caraku kembali kepada temanku, dan apa yang akan aku katakan padanya dengan kejadian ini? Aku mulai berpikir. Maka, aku teringat kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam.

Setelah aku kembali, aku memberi salam kepadanya.

Dia berkata, “Apakah engkau temanku?”

Aku katakan, “Benar.”

Dia bertanya lagi, “Apa yang selama ini dikerjakan anakku?”

Aku berkata, “Apakah engkau ingat kisah Nabi Ayyub?”

Dia menjawab, “Ya.”

Aku berkata, “Apa yang Allah perbuat dengannya?”

Dia berkata, “Allah menguji dirinya dan hartanya.”

Aku katakan, ”Bagaimana dia menyikapinya?”

Dia berkata, “Ayyub bersabar.”

Aku katakan, “Apakah Allah mengujinya cukup dengan itu?”

Dia menjawab, “Bahkan kerabat yang dekat dan yang jauh menolak dan meninggalkannya.”

Lalu aku berkata, “Bagaimana dia menyikapinya?”

Dia berkata, “Dia tetap sabar. Wahai hamba Allah, sebenarnya apa yang engkau inginkan?”

Lalu aku berkata, “Anakmu telah meninggal, aku mendapatkannya telah dimangsa binatang buas di antara bukit pasir.”

Dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan dariku keturunan yang dapat menjerumuskan ke neraka.”

Lalu dia menarik nafas sekali dan ruhnya keluar.

Aku duduk dalam keadaan bingung apa yang harus kulakukan. Jika aku tinggalkan, dia akan dimangsa binatang buas. Jika aku tetap berada disampingnya, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika dalam keadaan tersebut, tiba-tiba ada segerombolan perampok mendatangiku.

Para perampok itu berkata, “Apa yang terjadi?” Maka aku ceritakan apa yang telah terjadi. Mereka berkata, “Bukakan wajahnya kepada kami!” Maka aku membuka wajahnya, lalu mereka memiringkannya dan mendekatinya seraya berkata, “Demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, aku menahan mataku dari yang diharamkan Allah dan demi Allah, ayahku sebagai tebusannya, tubuh orang ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang sabar dalam menghadapi musibah.”

Lalu kami memandikannya, mengafaninya dan menguburnya. Kemudian, aku kembali ke perbatasan. Lalu, aku tidur dan aku melihatnya dalam mimpi, beliau kondisinya sehat. Aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau sahabatku?” Dia berkata,” Benar.” Aku berkata, “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?” Dia berkata, “Allah telah memasukkanku ke dalam surga dan berkata kepadaku,

“Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” (QS. Ar-Ra’d: 24).

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

(Dari ceramah yang ditranskrip, oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy yang berjudul Jannatu Ridha fit Taslim Lima Qadarallah wa Qadha, hal. 2)

Kisah nabi Ayyub sudah sering kita dengar, namun mungkin muncul komentar dalam diri kita, “Itukan Nabi, wajar jika dia mampu bersabar, sehingga membuat kita tidak terlalu terkesan dengan cerita tersebut.” Tapi subhanallah.., tokoh utama kisah di atas bukan Nabi. Abu Qilabah adalah manusia biasa seperti layaknya kita. Beliau tidak mendapatkan wahyu maupun didatangi malaikat Jibril untuk bersabar. Yang ini menunjukkan sikap sabar, diiringi syukur yang luar biasa seperti kisah di atas, memungkinkan untuk ditiru setiap orang. Tidak bisa kita bayangkan, andaikan beliau diberi oleh Allah nikmat yang lebih dari itu, sehebat apa rasa syukur yang akan beliau lakukan.

Inilah sifat yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkagum dan memuji pribadi orang mukmin. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, dari sahabat Suhaib bin Sinan radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sungguh sangat mengagumkan keadaan orang yang beriman. Semua keadaannya itu baik. Dan ini hanya ada pada diri orang yang beriman. Apabila mereka mendapat kenikmatan, mereka bersyukur, dan itu (sikap) yang baik baginya. Sementara jika dia mendapatkan musibah, dia bersabar, dan itu (sikap) baik baginya.” (HR. Muslim).

Kunci Kebahagiaan Ada Tiga

Dalam bukunya yang sangat masyhur yang berjudul “qawaidul arba” (4 kaidah penting dalam memahami kesyirikan), Imam Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan:

“Semoga Allah menjadikan anda termasuk diantara orang yang apabila dia diberi dia bersyukur, apabila diuji, dia bersabar, dan apabila melakukan dosa, dia beristighfar. Karena tiga hal ini merupakan tanda kebahagiaan.” (Qowaidul Arba’)

Bersyukur ketika mendapat nikmat

Dengan sikap ini, orang akan tetap mendapatkan tambahan nikmat dan keberkahannya. Sebagaimana janji Allah ta’ala, dalam firman-Nya:

“Jika kalian bersyukur maka sungguh Aku akan tambahkan untuk kalian, dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)

Hanya saja perlu kita ingat. Sikap ini tidaklah mudah. Kita baru bisa bersyukur, ketika kita merasa bahwa apa yang ada pada diri kita adalah pemberian Allah yang sudah sangat banyak. Dengan ini, kita tidak akan membandingkan kenikmatan yang ada pada diri kita dengan nikmat yang Allah berikan kepada orang yang lebih ‘sukses’ dari pada kita. Inilah kunci yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

“Lihatlah kepada orang yang (nikmatnya) lebih bawah dari pada kalian. Jangan melihat kepada orang yang (nikmatnya) di atas kalian. Dengan ini, akan lebih memungkinkan, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah pada diri kalian.” (HR. Turmudzi dan dinilai shahih oleh al-Albani)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui bahwa manusia memiliki sifat hasad dan selalu menginginkan nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Dengan sebab ini, orang akan melupakan nikmat yang ada pada dirinya. Karena itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan kepada manusia agar menutup celah timbulnya perasaan ini, dengan membandingkan keadaan dirinya dengan keadaan orang yang lebih rendah kenikmatannya dari pada nikmat yang ada pada dirinya.

Bersabar ketika mendapat ujian

Ujian dan cobaan merupakan salah satu bagian dalam kehidupan manusia. Tidak ada kenikmatan mutlak di alam dunia ini. Sehebat apapun manusia, sekaya apapun dia, kenikmatan yang dia rasakan akan bercampur dengan ujian dan cobaan. Namun, orang yang beriman bisa mengkondisikan keadaan yang sejatinya pahit ini sebagai bagian dari kebahagiaan. Itulah sikap sabar dan mengharap pahala dari Allah ta’ala. Karena itu, semakin besar sikap sabar yang dilakukan, semakin besar pula kebahagiaan yang dia rasakan. Barangkali, inilah diantara rahasia bahwa semakin sempurna keimanan seseorang maka semakin besar pula ujian yang Allah berikan kepadanya. Dinyatakan dalam sebuah hadits, dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya besarnya pahala sepadan dengan besarnya ujian. Sesungguhnya Allah, apabila mencintai seseorang maka Allah akan mengujinya. Siapa yang ridha (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan ridha (Allah). Siapa yang marah (dengan takdir Allah) maka dia akan mendapatkan murka (Allah)” (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani)

Diantara hikmah Allah memberikan ujian kepada kaum mukminin adalah agar mereka tidak merasa bahwa kehidupan dunia ini sebagai kenikmatan mutlak, sehingga mereka akan senantiasa mengharapkan akhirat.

Memohon ampunan ketika berdosa

Bukanlah sifat orang mukmin yang bertaqwa, sama sekali tidak memiliki dosa. Hamba beriman yang baik adalah hamba yang ketika melakukan dosa dia segera bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. Allah berfirman:

“(Orang yang bertaqwa) adalah orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka” (QS. Ali Imran: 135)

Dan inilah bagian tabiat manusia yang tidak bisa dihilangkan dari diri mereka. Akan tetapi, yang lebih penting adalah bagaimana seorang mukmin bisa segera bertaubat ketika melakukan dosa. Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya. Andaikan kalian sama sekali tidak melakukan dosa, Allah akan menghilangkan kalian, kemudian Allah datangkan sekelompok orang yang mereka melakukan perbuatan dosa kemudian bertaubat, lalu Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim)

Hal inilah yang dirasakan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para manusia mulia ini, khawatir, jangan-jangan termasuk orang munafik, ketika mereka merasa lebih bertaqwa pada saat di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ketika berada di rumah, mereka masih melekat dengan dunia.

Dari Abu Hurairah rahiiallahu ‘anhu, bahwa para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, ketika kami melihat anda, hati kami menjadi lunak, dan kami seolah menjadi penduduk akhirat. Namun ketika kami jauh dari anda, kami menginginkan dunia dan bercanda dengan para istri dan anak.” Kemudian beliau bersabda:


“Jika kalian setiap saat dalam keadaan sebagaimana ketika kalian berada di dekatku (seolah menjadi penduduk akhirat), niscaya para malaikat akan menyalami kalian dengan telapak tangan mereka dan mengunjungi kalian di rumah kalian. Andai kalian tidak pernah melakukan perbuatan dosa, niscaya Allah akan mendatangkan kaum yang berdosa (kemudian bertaubat) agar Allah mengampuni mereka” (HR. Ahmad, dan dinyatakan oleh Syu’aib al-Arnauth: Shahih dengan beberapa jalurnya). Allahu a’lam. [Ammi Nur Baits]


Sumber : Klik Disini

18 Apr 2012

Hijau



Seperti daun
Yang gugur karna layu
Yang berjatuhan dihembus sang bayu
Yang rapuh tertindih waktu

Seperti daun
Yang malu malu mulai bertumbuh
Mengganti yang telah gontai

Seperti daun
Dua wajahmu mengikatku
Lewat akar nafas yang terhembus angin

Seperti daun
Yang berguguran dan terbuang.


Kotak Putih
18.4.12

LuLu Asy Syifa



15 Apr 2012

Hubungan Penyakit HATI dan Penyakit dalam Tubuh (Penting utk diBACA)

Tanya Konsul Dokter~
Tau ga sob ???
Jika kita MARAH selama 5 menit saja, maka sistem imunitas (kekebalan) tubuh kita akan
depresi selama 6 jam.
Dan jika kita DENDAM, menyimpan kepahitan, maka imunitas tubuh kita akan mudah mati. Lalu dari situlah bermula segala awal penyakit, STRESS, kolesterol tinggi, Jantung, Rheumatik, arthritis, Sroke /pendarahan / penyumbatan pembuluh darah.
Kemudian jika kita sering membiarkan pikiran kita STRESS, maka kita pun akan sering mengalami GANGGUAN PENCERNAAN Perasaan KHAWATIR berlebihan pun bisa mengakibatkan kita NYERI PUNGGUNG karena tidur jadi tidak nyenyak
Jika mudah TERSINGGUNG, maka kita akan cenderung terkena penyakin INSOMNIA (susah tidur) karena selalu memikirkan ucapan orang Jika sering mengalami KEBINGUNGAN,
maka besar kemungkinan mudah terkena GANGGUAN TULANG BELAKANG
Jika sering membiarkan diri kita merasa TAKUT BERLEBIHAN, maka kita akan
mudah terkena sakit ginjal Jika suka suudzon, NEGATIVE THINKING,
maka kita akan mudah terkena DYSPEPSIA (penyakit sulit mencerna)
Jika mudah EMOSI dan cenderung PEMARAH, maka kita bisa rentang terhadap penyakit HEPATITIS.
Jika kita sering APATIS (tidak pernah perduli) terhadap lingkungan, maka kita berpotensi mengalami PENURUNAN KEKEBALAN TUBUH
Jika sering TERLALU MENGANGGAP SEPELE semua persoalan, maka hal ini bisa mengakibatkan penyakit DIABETES
Jika kita sering KESEPIAN, maka kita bisa terkena penyakit DEMENSIA SENELIS
(memori dan kontrol fungsi tubuh berkurang)
Jika sering bersedih dan merasa terlalu RENDAH DIRI, maka kita bisa terkena penyakit Leukimia (Kanker Darah Putih)
Mari kita bersyukur atas segala perkara yang telah terjadi, karena dengan bersyukur, maka hati ini menjadi GEMBIRA dan menimbulkan energi POSITIF dalam tubuh kita untuk mengusir segala penyakit-penyakit tersebut diatas
QS.3 Ali 'Imran:119 ,,,Katakanlah: "Matilah kamu karena kemarahanmu itu"...
Orang marah cepat tua
^_^


Sumber : Copas status teman di FB

TA'ARUF DAN TATA CARANYA


Dikalangan tertentu pacaran tidak dikenal, pun mereka tahu tetapi cenderung menghindari karena menganggap gaya itu tidak lagi mutlak dilakukan pada masa pranikah. Selain dinilai tidak sesuai dengan norma agama -ini terbukti dari pengalaman sepanjang sejarah keberadaan manusia bahwa pacaran cenderung kelewat batas bahkan tidak sedikit yang amoral- juga berkembangnya pemikiran bahwa satu kesia-siaan saja berjalan bersama orang yang belum tentu 100 % menjadi pasangannya. Ya, bagaimana mungkin bisa meyakinkan bahwa orang yang saat ini berjalan bersamanya memiliki komitmen untuk tetap ‘setia’ sampai ke jenjang pernikahan, la wong sudah sekian tahun berpacaran ternyata wacananya hanya sebatas curhat-curhatan dan take n give yang tak berdasar, tidak meningkat pada satu tindakan gentle, menikah! Atau setidaknya mengajukan surat lamaran ke orangtua si gadis. Berbagai dalih dan argumentasi pun meluncur untuk mengkamuflasekan ketidakgentle-annya itu, yang kemudian semua orang pun tahu itu cuma lips service dari orang yang tidak benar-benar dewasa alias childish.

Kedewasaan, ukurannya tidak terwakili hanya oleh umurnya yang diatas seperempat abad misalnya, tetapi juga pada sikap diri, attitude yang tertampilkan dalam kesehariannya. Dalam dunia pekerjaan, sikap dewasa dapat dilihat dari profesionalisme kerja, termasuk didalamnya kedisplinan. Dalam hubungan interelasi, bijaksana, proporsional dalam bersikap dan berbicara bisa jadi satu parameter kedewasaan. Nah yang menjadi masalahnya kemudian, tidak sedikit orang yang seharusnya bersikap dewasa justru memamerkan sifat kekanakkan saat berkesempatan bersama pasangannya, sikap yang dipraktekkan secara tidak proporsional dari ungkapan kasih sayang dan pengorbanan.

Orang terlihat dewasa mungkin hanya dari fisiknya saja, namun sisi lainnya seringkali luput dari perhatian. Padahal kedewasaan jelas meliputi beberapa aspek yang sekiranya patut diperhatikan dalam memilih pasangan yang kelak dinominasikan untuk menjadi pasangan hidup. Dewasa secara fisik, dimana organ-organ reproduksi telah berfungsi secara optimal yang ditandai dengan produksi sperma yang baik pada pria dan produksi sel telur yang memadai pada wanita. Selain perkembangan sel-sel otot tubuh menandakan –sekaligus membedakan- pria dan wanita. Dewasa secara psikologis, yang ditandai dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan, serta mampu menjalani hubungan interdependensi. Ini penting untuk diperhatikan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan bersama dalam pernikahan. Dewasa secara sosial-ekonomi ditampakkan dalam kemampuan seseorang untuk membiayai kebutuhan hidup yang layak sebagai suami-istri. Tentu hal ini terkait dengan adanya pekerjaan yang jelas serta penghasilan yang tetap, serta kesadaran akan meningkatnya biaya kehidupan dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya anggota keluarga kelak.

Berdasarkan aspek kedewasaan diatas, maka wajarlah jika disatu sisi justru ada orang yang enggan berpacaran. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa pacaran selain tidak diajarkan dalam agama Islam karena melanggar norma yang digariskan, juga dianggap ‘buang-buang waktu’, ‘wujud ketidakgentle-an’, ‘aktifitas sia-sia’ dan lain-lain. Namun sekedar diketahui, bahwa diluar itu ada sebagian yang memang benar-benar takut untuk mencintai, dicintai dan bahkan takut jatuh cinta. Dalam psikologi, orang-orang ini mungkin dianggap terkena sindrom fear of intimacy, satu kondisi yang disebabkan oleh ketakutan yang teramat sangat untuk menerima resiko kenyataan di kemudian hari. Seperti ditulis astaga.com, menurut psikolog Robert W Firestone dan Joyce Catlett, fear of intimacy ini adalah salah satu perwujudan dari pertahanan psikologis, yang lebih merupakan cermin dari pikiran dan sikap negatif atas hal-hal yang dilihat dan dipelajarinya waktu kecil.

Maka kemudian, Islam mengenal ‘pacaran’ dalam kemasan yang berbeda. Ustadz Ihsan Arlansyah Tanjung, konsultan keluarga sakinah di situs eramuslim sering mengatakan bahwa pacaran akronim dari ‘pakai cara nikah’. Ya, Islam hanya mengajarkan bentuk-bentuk curahan kasih sayang dan cinta itu setelah melalui satu proses sakral yakni pernikahan. Sementara proses pranikah yang dilakukan untuk saling mengenal antara calon pria dan wanita biasa disebut proses ta’aruf (perkenalan). Yang penting dari ta’aruf adalah saling mengenal antara kedua belah pihak, saling memberitahu keadaan keluarga masing-masing, saling memberi tahu harapan dan prinsip hidup, saling mengungkapkan apa yang disukai dan tidak disukai, dan seterusnya. Kaidah-kaidah yang perlu dijaga dalam proses ini antar lain nondefensif, tidak bereaksi berlebihan pada feedback negatif, serta terbuka untuk mencoba pengalaman-pengalaman baru, Jujur, tidak curang, berbohong dan punya sense of integrity yang kuat, Menghormati batas-batas, prioritas dan tujuan calon pasangan yang menyangkut diri mereka maupun tidak, Pengertian, empati, dan tidak mengubah pasangannya sedemikian rupa serta tidak mengontrol, manipulatif, apalagi mengancam pasangan dalam bentuk apa pun.

Dalam tahap ini anda dan dia bisa saling mengukur diri apakah cocok satu sama lain atau tidak. Masing-masing pihak masih harus sama-sama membuka options/kemungkinan batal atau jadi. Maka umumnya dilakukan tanpa terlebih dahulu melibatkan orangtua agar tidak menimbulkan kesan ‘harga jadi’ dan tidak ada lagi proses tawar menawar, sehingga jika pun gagal/batal tidak ada konsekuensi apa-apa. Karena jika sudah sampai menemui orangtua berarti secara samar maupun terang-terangan seorang pria sudah menunjukkan niat untuk memperistri si wanita. Yang perlu jadi ingatan, seringkali pasangan-pasangan itu terjebak dalam aktifitas pacaran yang terbungkus sampul ta’aruf. Apa namanya bukan pacaran kalau ada rutinitas kunjungan yang melegitimasi silaturahmi dengan embel-embel ‘ingin lebih kenal’.

Jika sudah mantap atas pilihan masing-masing barulah kemudian melibatkan orang tua dalam proses selanjutnya, lamaran (khitbah). Untuk khitbah tak ada aturan yang kaku, yang penting dalam masa penjajagan keduanya berkenalan dan saling mengungkap apa yang disukai dan tidak disukai, saling mengungkap apa visi misi dalam pernikahan dan seterusnya. Tentunya khitbah harus tetap mengikuti aturan pergaulan Islami, tak berkhalwat, tak mengumbar pandangan, tak menimbulkan zina mata, hati (apalagi badan), tak membicarakan hal-hal yang termasuk kejahatan dan sebagainya.

Yang perlu disadari, khitbah mirip jual beli, dalam masa tawar menawar bisa jadi, bisa juga batal. Pembatalannya harus tetap sopan menurut aturan Islami, tidak menyakiti hati dengan kata-kata yang kasar, tidak membicarakan aib yang sempat diketahui dalam khitbah kepada orang lain. Namun sebagaimana jual beli harus ada prinsip kedua belah pihak ridho. Khitbah baru bisa berlanjut ke pernikahan jika kedua pihak ridho, jika salah satu membatalkan proses tawar menawar maka pernikahan tak akan jadi. Kalaupun dibatalkan (meski mungkin menyakitkan), harus ada alasan yang kuat untuk salah satu pihak membatalkan rencana nikah yang sudah matang. Sebab Islam melarang ummatnya saling menyakiti tanpa alasan. Jadi jika ada yang ragu (dengan alasan yang benar) sebelum menikah, sebaiknya membatalkan sebelum terlanjur.

Adapun jarak antara khitbah dan akad nikah, tidak ada aturan yang menjelaskan harus berapa lama, tentu dalam hal ini masing-masing pihak bisa mengukurnya sendiri. Satu hari bisa jadi sudah deadline bagi pria-wanita yang sudah sedemikian menggebunya hingga khawatir terjerumus kepada dosa zina. Namun jika bisa merasa ‘aman’ dengan menunda beberapa waktu tidak masalah.

Jadi, jika segalanya sudah terencana dengan matang dan baik, seperti kata seorang bijak, jika berani menyelam ke dasar laut, mengapa terus bermain di kubangan, kalau siap berperang mengapa cuma bermimpi menjadi pahlawan … Wallahu a’lam bishshowaab


Ta'aruf. Istilah ini sering disebut dan dirasakan sangat penting sebelum memutuskan utk menuju jenjang pernikahan. Secara harfiah sih, artinya berkenalan. Tapi di sini yg kumaksud ta'aruf utk menikah. Nah kayaknya jika ada org yg mengajak kita ato bahkan kita yg berinisiatif mengajak org lain utk ta'aruf, perlu diperjelas maksudnya. Jgn sampe yg kita maksud ta'aruf for married, eh pihak sana memahaminya sbg ta'aruf sbg sahabat saja.

Meskipun istilah ini sudah teramat akrab di kuping, mata maupun hati kita tapi kayaknya ia masih dibiarkan begitu saja. Artinya dijalani apa adanya tanpa sebuah kerangka yg jelas. So, izinkan aku utk urun rembug sedikit soal salah satu istilah yg plg mengetarkan ini :).

Kukira, kita perlu membuat semacam aturan main ttg ta'aruf agar semuanya jelas dan kalo ada apa2, bisa merujuk pada aturan main ini. Aturan main itu mencakup misalnya hal2 apa yg hrs dita'arufi, gimana caranya, apa yg boleh dan apa yg tidak boleh dilakukan dsb.

Ketentuan umum :
1. Tak ada keharusan bahwa ta'aruf itu hrs berlanjut dgn pernikahan.
Ini cuma penjajakan saja. Kalo cocok dan Allah mengizinkan, ya bisa ke pelaminan. Kalo gak, ya cari yg lain aja :-). Walopun begitu, kalo emang akhirnya gak jadian (kayak org pacaran aja pake jadian), mudah2an tidak ada yg kecewa ato tersakiti hatinya. Dan juga agar masing2 pihak bisa menyimpan rhs pihak lain.

2. Ta'aruf cuma 1-1.
Artinya seorg lelaki cuma berta'aruf dgn seorg wanita dan sebaliknya. Jgn sampe satu org berta'aruf dgn banyak org. Knp hrs dgn satu org? Sebab menurutku ta'aruf itu mempunyai keistimewaan sendiri. Artinya ada hak2 eksklusif yg melekat pd masa itu misalnya kebolehan utk melihat fisik dan menggali informasi sebanyak2nya.

Kok gak salah, dulu ada yg berpendapat kalo masih tahap penjajakan pemikiran dan pemahaman, gpp dgn banyak org. Hmmm, kayaknya aku bisa setuju jg. Tapi kalo sdh semakin mengerucut maka kukira kita hrs berani utk berhadapan satu lawan satu.
Ada jg yg khawatir kalo konsepnya 1-1 dan tdk berlanjut ke jenjang pernikahan maka akan membuang waktu. Kalo ta'aruf dgn banyak org, jika yg satu gagal maka masih ada cadangannya dan gak perlu memulai dr awal. Terus terang, aku lom bisa menerima alasan spt ini. Kukira kalopun gagal, ya itu emang udah resiko perjuangan (ceile……..). Kita mulai lagi utk berta'aruf dgn yg baru.
Perlu jg dipikirkan, kalo ta'arufnya 'berjama'ah' akan membuat kesimpangsiuran. Misalnya si A berta'aruf dgn si X, Y dan Z. Sdgkan si X sendiri berta'aruf dgn si A, B, C, D, dan E.

Gimana kalo ada yg melamar ketika sdg ta'aruf? Misalnya pria A sdg berta'aruf dgn wanita B. Trus ada pria X yg lsg meminang wanita B. Ato bisa jadi si A dijodohin ortunya dgn wanita lain. Kalo menurutku sih, yg jadi prioritas pertama tetaplah ta'aruf antara si A dan si B.

3. Komitmen utk menikah itu yg membedakan ta'aruf dgn perkenalan biasa lainnya. Yg jelas di situ gak ada komitmen utk menikah dan tentu saja ada perbedaan perlakuan misalnya ttg data2 yg boleh dan tidak boleh diberikan.

4. Bersikap jujur dan apa adanya.

Apa yg hrs dita'arufi?

1. Pemikiran
Bagaimanapun pemikiran itu berpengaruh pada tindakan dan perilaku termasuk juga bagaimana nantinya membangun RT dan mendidik anak2. Nah kadang org itu mikirnya terlalu simple bahwa yg penting itu akidahnya. Padahal kalo cara mikirnya gitu, sudah sejak lama umat Islam itu bisa bersatu.

2. Fisik
Kayaknya yg ini jelas ya. Untuk mengetahui fisik itu gak bisa cuma diwakili selembar foto. Kalo pun tukar2an foto, itu cuma pendahuluan saja. Walopun begitu jgn buru2 utk make cara Umar yg menyingkap pakaian utk melihat betis ato cara sahabat yg katanya sampe ngintip dr atas genteng. Wah bisa2 diteriakin maling. Jadi paling2, ya ketemu lsg aja utk mengetahui seberapa kurus/gemuk, seberapa tinggi dsb. Oh ya, ttg fisik ini juga mencakup penyakit2 berat yg sdg maupun yg pernah diderita. Juga ttg kekurangan fisik lainnya, misalnya sapa tahu lubang idungnya cuma satu ^__^.

3. Ibadah
Ini mencakup ttg ibadah2 sunnah yg dilakukan. Kalo wajib sih kayaknya gak perlulah. Kalo gak ngerjain yg wajib sih, waaaaaaaaah………..Bisa juga ttg berapa banyak hapalan Qur'an dan hadits.

4. Sifat alias akhlak
Allah bilang kalo Muhammad itu diutus utk memperbaiki akhlak manusia. Jadi akhlak itu sgt penting utk diketahui. Ya masing2 pihak hrs tahu dong gimana sifat2 pihak lain apakah cengeng, pemarah, dermawan, suka usil, sering dengki dsb. Setuju ya?

5. Kondisi keluarga
Pernikahan itu kan gak cuma menyatukan dua org anak manusia tetapi juga dua buah keluarga yg memiliki kondisi berbeda.

Skrg ttg sarana2 yg bisa dipake utk ta'aruf
1. Internet (email, chating, webcam)
2. Surat
3. Telpon
4. Face to face

Kukira taa'aruf ini juga perlu dilakukan secara bertahap. Mungkin dr yg paling umum dulu ato yg paling penting. Bisa juga ta'aruf ttg pemikiran dulu. Gak bisa kan lsg semuanya dibeberkan ato lsg face to face. Terserah mo mulai dr mana.

Satu hal lagi yg perlu diingat adalah bahwa kayaknya masing2 pihak perlu utk mendapatkan akses ke sumber2 informasi pembanding. Bagaimanapun kan gak bisa kita cuma mengklaim kalo diri kita itu begini2. Kan terlalu subjektif namanya khususnya kalo menyangkut ttg sifat2. Bisa saja kan si A ngaku2 sbg org yg penyabar tapi nyatanya tiada hari tanpa marah. Ato bilang bisa masak padahal bisanya cuma masak air, mi instant dan sarden.

Sumber2 informasi itu ya teman2 kita. Jadi nanti mungkin kita perlu memperkenalkan teman2 kita yg benar2 sudah mengenal kita secara mendalam. Dalam pikiranku saat ini sih biar parktis, dibuat semacam angket/kuesioner ato apapun namanya ttg kepribadian dan ibadah. Jadi angket itu diisi oleh org2 yg mengenal ttg diri kita. Trus hasilnya saling dipertukarkan. Jadi masing2 dpt melihat bgm penilaian org lain thdp sang calon. Kalo penilaian org lain ttg diri kita, gak usahlah kita ketahui biar kita gak sinis kalo2 ada yg menilai kita negatif. Cuma saat ini aku masih bingung mo buat gimana kuesionernya. Soalnya utk buat itu agar valid khan tidak mudah. Makanya kayaknya butuh anak psikologi nih. Ato ada yg bisa ngebantu utk buatin?
Adapun proses dalam ta'aruf adalah :

1. Menjaga pandangan mata dan hati dari hal-hal yang diharamkan (QS. An Nuur: 30-31)
2. Materi pembicaraan tidak mengandung dosa dan tidak bermuatan birahi (Qs. An Nisaa:114)
3. Menghindari khalwat/berdua-dua-an
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-sekali berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita ditempat yang sunyi, sesungguhnya syetan akan menjadi orang ketiganya" (HR. Ahmad)
4. Menghindari persentuhan fisik
"sabda Rasul SAW "sesungguhnya aku tidak pernah bersalaman dengan wanita (bukan muhrim)" (HR. Bukhari)
5. Menjaga aurat masing-masing sesuai aturan syar'i atau islam (batasan aurat tubuh wanita adalah seluruh tubuhnya wajib ditutup kecuali muka, telapak, dan punggung tangan, sedang laki-laki batasan aurat dari lutut hingga pusar) (Qs.An Nuur:31)

Perbedaan Ta'aruf Dan Pacaran

Makna ta'aruf yang sebenarnya adalah berkenalan. Jika yang anda maksudkan adalah taaruf dalam rangka akan menikah, maka kira-kira umumnya dilakukan sebagai berikut:

1. Saling tukar menukar data diri, nama, alamat, tempat tanggal lahir, nama orang tua, suku, hobi, dan lain-lain yang dianggap wajar sebagai perkenalan pertama. Plus foto masing-masing.

2. Jika dari data pertama tersebut, jika kedua pihak setuju, maka pertemuan dilanjutkan sesuai kesepakatan untuk berjumpa pertama kali atau “melihat”. Yang kita sebut "melihat" inilah yang sebenarnya sesuai sunnah Nabi SAW, sebab Beliau SAW ketika salah seorang menyatakan akan menikah dengan si fulanah, beliau bertanya apakah sudah pernah melihat fulanah tersebut? Kemudian Beliau menganjurkan sahabat tersebut untuk melihatnya, dengan alasan: “karena melihat membuat engkau lebih terdorong untuk menikahinya”. Kira-kira demikian. Yang disebut “melihat” ini biasanya dilakukan dengan ditemani orang lain, sesama wanita dari pihak wanita (atau mahramnya yang pria) dan si pria bisa sendiri atau dengan orang lain.

3. Dalam pertemuan pertama tersebut fungsinya membuktikan data foto. Bisa jadi dalam pertemuan tersebut satu sama lain saling bertanya tentang hal-hal yang perlu diperjelas.

4. Seringkali pertemuan tsb dilanjutkan dengan “hubungan” selanjutnya dengan maksud memperjelas perkenalan, yaitu mungkin dengan (1) surat menyurat (2) sms atau telepon (3) atau pertemuan lain dengan komposisi yang sama. Dalam langkah selanjutnya ini umumnya yang dilakukan adalah mendetilkan perkenalan.

5. Jika saling setuju, maka selanjutnya kedua pihak mulai melibatkan ortu, kadang juga ortu terlibat sejak awal, namun biasanya jika sudah melibatkan ortu itu artinya mulai bicara teknis pernikahan.

6. Jika sudah bicara teknis artinya sudah dalam proses menuju pernikahan atau dengan kata lain si wanita sudah dilamar dan tak boleh dilamar pria lain. Seringkali kami juga menganjurkan agar kedua pihak (pada tahap antara nomer 4 dan 5) untuk saling tukar data lebih jauh, misalnya keduanya masing-masing membuat semacam surat perkenalan yang menceritakan tentang diri masing-masing, misalnya kisah singkat tentang dirinya atau tentang hobinya dsb. Ini ijtihad saja yang intinya untuk memberi kesempatan atau sarana bagi kedua pihak untuk taaruf. Bisa juga anda engembangkan cara-cara lain.

Apapun juga ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik sebagai “aturan main” taaruf untuk pernikahan pada zaman kita ini :

1. Tidak berkhalwat (hadits ttg ini sudah jelas dan dibahas di banyak buku dan kesempatan)
2. Tidak boleh zina hati dan zina mata (termasuk mendekati zina)
3. Agar nomer 2 tidak dilanggar, maka waktu taaruf tak boleh terlalu panjang, apalagi jika sampai tanpa batas yang ditentukan. Jika tak bisa menentukan waktu, sebaiknya pisah saja dulu tanpa ikatan janji.
Sebab (1) janji atau yang semacam itu mengundang harap-harap dan itu menjadi zina hati
(2) Janji menyebabkan pria lain tak bisa mendekati si wanita dan itu membuat posisinya sudah “setengah milik” bagi pria yang sedang melamarnya tanpa batas waktu kapan menikah.
(3) (3) keadaan yang bagaikan “setengah milik” ini menimbulkan kecenderungan mencairkan “hijab dalam pergaulan” antara kedua insan tersebut, ini menjadi mendekati zina. Contohnya adalah timbulnya perilaku cemburu pada pacar atau tunangan yang padahal tak ada kaitan/ikatan apa-apa.
4. Jika sudah ada kata sepakat, segeralah menentukan waktu dan kemudian menikah. Wallahua’lam bishshowwaab. Yang benar datangnya dari Allah SWT, yang salah datang dari kelemahan, kebodohan dan kemaksiyatan manusia.

Adapula perbedaan taaruf dengan pacaran adalah sebagai berikut:

Tujuan
- taaruf (t) : mengenal calon istri/suami, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pernikahan.
- pacaran (p) : mengenal calon pacar, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pacaran, syukur-syukur bisa nikah ...

Kapan dimulai
- t : saat calon suami dan calon istri sudah merasa bahwa menikah adalah suatu kebutuhan, dan sudah siap secara fisik, mental serta materi.
- p : saat sudah diledek sama teman:"koq masih jomblo?", atau saat butuh temen curhat, atau saat taruhan dengan teman.

Waktu
- t : sesuai dengan adab bertamu.
- p : pagi boleh, siang oke, sore ayo, malam bisa, dini hari klo ngga ada yang komplain juga ngga apa-apa.

Tempat pertemuan
- t : di rumah sang calon, balai pertemuan, musholla, masjid, sekolahan.
- p : di rumah sang calon, kantor, mall, cafe, diskotik, tempat wisata, kendaraan umum & pribadi, pabrik, Hutan (banyaknyamuk kali) he,,

Frekuensi pertemuan
- t : lebih sedikit lebih baik karena menghindari zina hati.
- p : lazimnya seminggu sekali, pas malem minggu.

Lama pertemuan
- t : sesuai dengan adab bertamu
- p : selama belum ada yang komplain, lanjut !

Materi pertemuan
- t : kondisi pribadi, keluarga, harapan, serta keinginan di masa depan.
- p : cerita apa aja kejadian minggu ini, ngobrol ngalur-ngidul, ketawa-ketiwi.(g jelas deh poko’y)

Jumlah yang hadir
- t : minimal calon lelaki, calon perempuan, serta seorang pendamping (bertiga). maksimal tidak terbatas (disesuaikan adab tamu).
- p : calon lelaki dan calon perempuan saja (berdua). klo rame-rame bukan pacaran, tapi rombongan.

Biaya
- t : secukupnya dalam rangka menghormati tamu (sesuai adab tamu).
- p : kalau ada biaya: ngapel, kalau ngga ada absent dulu atau cari pinjeman, terus tempat pertemuannya di rumah aja kali ya? tapi gengsi dong pacaran di rumah doang ?? apa kata doi coba ??

Lamanya
- t : ketika sudah tidak ada lagi keraguan di kedua belah pihak, lebih cepat lebih baik. dan ketika informasi sudah cukup (bisa seminggu, sebulan, 2 bulan), apa lagi yang ditunggu-tunggu?
- p : bisa 3 bulan, 6 bulan, setahun, 2 tahun, bahkan mungkin 10 tahun.

Saat tidak ada kecocokan saat proses
- t : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan menyebut alasannya.
- p : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan/tanpa menyebut alasannya.
Ada Penjelasan lainya, yaitu :

pacaran itu bagaimana sech yang anda maksudkan? berdua2an? saling lihat2an? bukan hanya zina yang dilarang tapi juga yang mendekati zina!

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

quran [17:32] Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

kemudian: di ayat ini

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

quran [24:31] Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan menahan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.hingga kini islam mana yang dikaji sech?

jelas belon?

dan yang saya tau pacaran itu menurut artinya jika dilihat dalam bahasanya itu sudah dinilai atau di lakukan dengan hijab kobul... adapun mengenai saling mengenal yang pasti dengan berkenalan utk caranya dengan niat tujuan yg suci atau nikah utk menuju pacaran itu...

Pacar = kekasih tetap ( merupakan istilah )
Pacar + akhiran an = kata kerja dengan kekasih tetap
saya tebalkan tuuch ijab qabul, tahu apa artinya ijab qabul?
seandainya faham maka: pertama nikah setelah itu pacaran bukan sebaliknya!
ijab qabul trus ada saksi dua orang (muslims), mahar dan walimah ? bener" se7 saya!

utk menetapkan kekasih utk manusia aturannya dalam Islam itu melalui hijab
tolong kata yg tujuan artinya itu kebenaran jangan disalah artikan
adapun realita atau kenyataan pacaran sudah di salahartikan
wasalam
siapa yang maling teruiak maling disini? pacaran itu bagaimana kembali keprtanyaan pertama diatas tadi tuuch!
untuk apa? tujuannya apa?
yang nyata, masa masa pacaran itu masing2 mengkibuli masing2, diri yang sesungguhnya masih disembunyikan lhoh!
omong kosong untuk saling mengenal, untuk saling membohongi! bener!
dan yang terutama ini udah mendekati zina!
nikahlah baru pacaran! insya Allah asyiiiiek dech!

Sumber : KLiK disini

Dua beda

 Terkadang luka ada baiknya datang diawal. Agar kau tau bahwa hidup tak hanya tentang cinta.  Gemerlap dunia hanya persinggahan yg fana.  Me...