23 Sep 2011

Gelap Terangku

Tetaplah untuk tidak peduli. Hingga aku terbiasa dengan ketidakpedulianmu. Dan bila hal itu telah membiasakanku untuk tak terus menatap harimu, maka pergilah tanpa meninggalkan pesan sedikitpun. Aku pun akan pergi setelah yakin tak ada lagi bayangmu yang menyelinap di sisi gelap ataupun terangku. Disini kita sama-sama akan belajar tentang hidup, tentang menunggu, tentang penantian yang hanya membuat usia kita semakin menua. Tentang pagi yang menanti senja, atau tentang malam yang menunggu pagi. Kita merindukan kebersamaan dalam keterbatasan hari yang menjelma kemurkaan. Kadang kita tertawa, bukan karena ada yang lucu. Justru kita tertawa karena sedang menertawakan diri kita sendiri. Menertawakan keadaan diri yang tak mampu merubah sesuatu yang ingin sebenarnya ingin kita raih. Atau kadang kita pun menangis, menangis diantara air wudhu yang membasahi, diantara air hujan yang menyirami, atau diguyuran air gayung mandi. Bahkan kita tertawa sambil menangis ketika kemarau melanda hari, melanda hati, mungkin ia sedang kosong, hampa, tanpa arti yang membersamai.

Hidup mungkin memang seperti ini. Jika mereka bilang ini adalah permulaan, maka aku bilang ini adalah akhir. Akhir dari bab penantian panjang. Karna ada gundah yang membersamai penantian, ada haru, ada gelisah, ada jenuh, ada bosan, ada tegar, ada gentar, ada rapuh, ada tangisan, ada kesabaran, ada kesyukuran, ada cemburu, ada amarah, ada tawa, ada galau, mencari, terhenti, berlari, pergi, lalu kembali lagi, teriak, terserak, menghela nafas panjang, sesak, terhimpit, berbinar, sabar, menunggu, menunggu, menunggu, jangan menunggu, diam, tak bergerak, diam-diam terus menunggu, diam dan menunggu, menunggu diam-diam tanpa sepengetahuan, mencari tahu dalam diam, menyapa dalam diam, lewat bahasa qalbu, lewat rangkaian kata dibalik dunia semu. Semu, tapi semu tak mau mengaku. Palsu, semu itu palsu.

Luka, berdarah. Kau aku, aku kau, kau dan aku, aku dan kau, kita? Entahlah. Khawatir membersamaiku dalam diam, dalam kekalutan, dalam kepanikan, dalam kesedihan, dalam ketenangan, dalam kedamaian. Khawatir tak memberiku ketenangan, ia menjelma kebisingan. Aku menangis, mengadu atas perbuatanmu yang membuatku mengkhawatirkanmu. Kau diam, kau pergi, kau menghilang, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, entah dimana.

Aku kelelahan. Tahukah kau? Aku mencarimu siang malam. Tahukah kau? Lagi-lagi kau diam. Diammu menjelma sebuah keegoisan.

6 Sep 2011

GaLaU



Entah apa, siapa, bagaimana, harus apa, dan harus kemana. Siang itu hujan turun- dua hari yang lalu. Nyiur melambai ditepi pantai. Teringat kata-kata seorang teman, bahwa ketika hujan turun ia merasakan "GaLaU". Perasaanku tak tentu, terus menerka dan mengingat-ingat akan diri sendiri. ah... ternyata aku pun merasakan hal yang sama. Ketika hujan turun entah perasaan apa yang kurasakan. Arahnya pun bercabang, maka entah apa, entah siapa, bagaimana dan entah harus kemana- itu terus yang berotasi dikepala.
hm....Mungkin aku melukai perasaan seseorang lagi. Kembali itu terjadi. Tapi itu juga bukan mauku. Apakah aku harus selalu jadi yang terdakwa atas terlukanya hati "mereka"?
Sedang hatiku cuma satu. Memaafkan aku pun itu takkan cukup menenangkan hatinya yang terluka.
Maaf kawan, jika sapaku hanya menorehkan luka lagi dihatimu. Kau tau aku, dan aku tau kau. Dan kita tak perlu bersenandung jika tak ada nada yang bisa kita mainkan.
***
Aku sedang berusaha keras untuk kembali seperti semula lagi. Aku sedang berusaha, ya..mungkin tak ia lihat. Mereka juga tak akan pahami aku.
Menulis akan selalu menjadi pelarianku kala suaraku tak mampu lagi berkata-kata.
Mungkin karena ia sedang memilih untuk diam, pun aku mengikuti irama diammu. Yang menjelma kebisuan dalam sepinya hari diantara rentetan cerita pagi dan senja.
Diam bukan berarti tak menyapa, justru keinginan itu kuat menyapa. Namun menahan diri lebih memberikan kebaikan. Sebab jika sudah tak tertahankan, kata-kata yang dijalankan pun menjadi tak beraturan.
Oh.... ini masalah. sesuatu yang mendewasakan manusia jika manusia bisa menjalaninya dengan bijak. Masalahku masih sama, berputar pada poros yang itu-itu saja, belum berubah.
Masih pagi, 09.58 Wib (sampai pada huruf terakhir kata ini), namun sengat mentari sudah berada pada angka 31 derajat celcius. Embun menguap dalam genggaman daun. Namun hujan masih juga belum turun. Hm...kenapa aku jadi mengharapkan hujan yang turun? mugkin karna hujan adalah Rahmat Ilahi Rabbi. Atau mungkin karna aku berharap bisa melihat pelangi. Mungkin karna ia yang mampu manghapus Galauku.

*LotusGarden dalam Hening
6.9.11
Sepekan menjelang angka ganjil kehidupan.

Dua beda

 Terkadang luka ada baiknya datang diawal. Agar kau tau bahwa hidup tak hanya tentang cinta.  Gemerlap dunia hanya persinggahan yg fana.  Me...